Minggu, 27 Maret 2011

Diduga terjadi perdagangan orang terhadap TKI

Oleh R FITRIANA Bisnis Indonesia
JAKARTA Pemerintah menduga terjadi praktik perdagangan orang {human trafficking) terhadap sedikitnya 126 orang tenaga kerja Indonesia yang kembali ke Tanah Air sehingga terjadi over-stayers (pelanggar batas izin tinggal) di Arab Saudi.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh. Jumhur Hidayat meminta Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri mengusut kasus tersebut. "Pada pemulangan TKI overstayers dari Jeddah, dalam enam gelombang mulai 14 Februari-19 Maret 20ll sebanyak 1.073 orang, ternyata ada di antaranya yang diduga terkait dengan praktik human trafficking," katanya kemarin.
Menurut dia, sampai dengan pemulangan gelombang VI pada Sabtu, 1-9 Maret lalu, Bareskrim Mabes Polri menemukan indikasi 126 orang TKI adalah korban tindak perdagangan orang.
Namun, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI hanya membiayai pemulangan para WNI/TKI overstayers dan TKI bermasalah itu. Untuk urusan pelanggaran hukum yang menyangkut perdagangan manusia harus ditangani oleh aparat kepolisian. Lantaran menyangkut penindakan terhadap oknum pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) atau oknum individu yang mengirim pekerja itu.
Dia berharap Bareskrim Mabes Polri tidak segan-segan menyelidiki masalah tindak perdagangan orang pada TKI sampai ke akar-akarnya,apabila ditemukan keterlibatan oknum PPTKIS, maka harus diproses sesuai hukum yang berlaku. "Hal ini tidak hanya menyangkut harkat martabat bangsa, tapi juga menyangkut pembelaan terhadap HAM [hak azasi manusia] para TKI," tukasnya.
Menurut data BNP2TKI, pemeriksaan Bareskrim Mabes Polri menunjukkan saat pemulangan sebanyak 301 orang WNI/TKI overstayers dan TKI bermasalah gelombang I pada 14 Februari lalu terdapat 13 orang TKI yang diindikasikan korban human trafficking.
Pada pemulangan gelombang II pada 18 Februari 2011, dari 335 orang WNI/TKI ditemukan 33 orang korban trafficking dan untuk gelombang III pada 24 Februari lalu dari 350 orang WNI/TKI terdapat 17 orang TKI menjadi korban trafficking.
Kemudian pada gelombang IV pemulangan pada 28 Februari, dari 415 orang WNI/TKI sebanyak 11 orang diindikasikan korban trafficking, sedangkan gelombang V pada 9 Maret, dari 305 orang WNI/TKI ada 11 orang korban dan pada gelombang VI dari 365 orang WNI/TKI terdapat 41 orang yang terkena indikasi korban trafficking.
Jumhur menyebutkan petugas Bareskrim Mabes Polri memang melakukan pemeriksaan sebagai saksi terhadap semua WNI/TKI overstayers dan TKI bermasalah yang baru tiba dari Jeddah Arab Saudi.

Serawak butuh 2,5 juta pekerja asing

JAKARTA: Negara bagian Sarawak Malaysia membutuhkan sekitar 2,5 juta orang tenaga kerja asing (TKA) untuk bekerja di sektor formal bidang perkebunan, manufaktur, konstruksi dan juga jasa.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh. Jumhur Hidayat menyatakan hingga 2020 negara bagian itu membutuhkan banyak tenaga kerja asing. “Jumlah pekerja asing yang dibutuhkan itu melebihi penduduk lokal Sarawak sendiri yang kini hanya tercatat sekitar 2,4 juta jiwa,” ungkapnya, hari ini.
Dia menyebutkan saat ini terdapat 204.000 TKI bekerja di sejumlah bidang usaha seperti perkebunan, industri pengolahan kayu, manufaktur, konstruksi, jasa dan sebagian kecil menjadi pegawai pemerintah negara bagian Sarawak.
“Kalangan pengusaha di Sarawak tahun ini masih membutuhkan antara 300.000 orang sampai dengan 700.000 orang TKI formal untuk bekerja pada berbagai pengguna jasa yang berbadan hukum di negara itu,” tuturnya.
Menurut dia, hal ini menjadi peluang yang sangat besar dan diharapkan kalangan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) segera menindaklanjutinya.
Jumhur memperkirakan selama rentang waktu hingga 2020, BNP2TKI maupun PPTKIS dapat bahu membahu memenuhi peluang kerja yang tersedia di Sarawak Malaysia, baik melalui skema government to private (pemerintah ke swasta) atau antarperusahaan (private to private).
“Kalau bisa 50% lebih dari peluang tersebut dapat diisi oleh TKI akan sangat membantu pengentasan pengangguran di Indonesia,” katanya. Tercatat bagi TKI formal di Malaysia dapat memperoleh pendapatan antara RM600 hingga RM1.500 per bulan dengan biaya pemondokan ditanggung pihak pengguna (user).(msb)
Oleh Rochmad Fitriana
(Sumber: www.bisnis.com, 23 Maret 2011)

Brunei butuh ribuan tenaga kerja perminyakan

JAKARTA: Proyek infrastruktur dan perminyakan di Brunei Darussalam membutuhkan ribuan tenaga asing (TKA) sektor formal, karena perhatian warga negara lokal hanya kepada pekerjaan di kerajaan/pemerintahan.
Selain itu, pertumbuhan bisnis perkebunan, pariwisata dan juga bidang kesehatan dengan bermunculan rumah sakit internasional juga membuka peluang bekerja untuk tenaga kerja Indonesia (TKI).
Menurut Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh. Jumhur Hidayat, tingginya permintaan TKA di negara itu merupakan peluang yang dapat diraih, khususnya bagi TKI formal.
Jadi, lanjutnya, badan nasional ini terus menggenjot penempatan pekerja sektor itu formal setiap tahunnya yang dimulai pada 2009 dengan mencanangkan sebagai tahun peningkatan kualitas penempatan TKI formal.
“Upaya itu dilakukan, baik melalui kerja sama g to g [government to government/penempatan tenaga kerja antarpemerintah], g to p [government to private/pemerintah ke swasta] dan p to p [private to private/penempatan antarperusahaan dengan mitranya di luar negeri],” katanya, hari ini. (msb)

Oleh Rochmad Fitriana
(Sumber, www.bisnis.com, 23 Maret 2011)

Apakah Kita Sekuat Jepang?

Radhar Panca DahanaPeristiwa alam, gempa dan tsunami, di Jepang terancam menjadi bencana kemanusiaan ketika beberapa reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima meledak.
Bayangan kengerian akan radiasi nuklir menggandakan kepanikan serta mulai mengganggu stabilitas mental dan intelektual masyarakat Jepang.
Laporan mutakhir Kompas (Senin, 21/3/2011) melukiskan hebat dan kuatnya karakter dan jati diri bangsa Jepang saat mengalami bencana beruntun itu. Dalam kelangkaan semua sumber daya, mereka tanpa mengeluh antre berjam-jam sepanjang 5 kilometer. Beberapa kisah juga mengabarkan bagaimana kesulitan yang dahsyat tidak melunturkan hasrat orang Jepang menolong orang lain.
Kekuatan bangsa seperti ini, ditambah sistem yang cepat tanggap dan akurat, membuat bangsa-bangsa lain memberi tabik. Bahkan PBB pun memberi apresiasi tinggi. Satu hal yang amat penting dari situasi ini adalah kepercayaan masyarakat Jepang kepada pemerintahnya, bahwa pemerintah akan bertanggung jawab menyelamatkan hidup mereka. Pemerintah menjadi acuan utama, sumber perlindungan, seperti orangtua yang penuh wibawa.
Maka, dalam dua lapis utama masyarakat, atas dan bawah, pemimpin dan rakyat, Jepang menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa unggul. Pemerintah yang disiplin, beretos dan beretika tinggi, penuh tanggung jawab, relatif bersih dari penyimpangan, serta peduli hajat hidup rakyat membuat Jepang mungkin memiliki indeks kepercayaan publik (salah satu yang) tertinggi di dunia.
Begitu pun lapisan bawah. Menurut Profesor Yamamoto Nobuto dalam wawancara dengan Kompas, mereka berhasil membuktikan tingginya eksistensi sosial dalam diri setiap manusia Jepang. ”Komunitas menjadi basis sosial,” katanya.
Artinya, keberadaan atau eksistensi manusia bagi orang Jepang terfaktualisasi dan teraktualisasi berdasarkan referensi atau konteks pada faktualisasi dan aktualisasi orang lain, komunitasnya. ”Rasa kebersamaan kunci kebesaran bangsa ini,” ujar Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuwan Indonesia di Universitas Chiba. Bagaimana dengan kita?
Kita tidak kalah
Sebenarnya semua ciri dasar ”karakter kuat” bangsa Jepang juga kita miliki. Bahkan potensi kita mungkin lebih besar. Bukankah kita bisa antre hingga berhari-hari dan berpekan—dengan panjang antrean hingga 30 km—seperti yang terjadi di Pelabuhan Merak?
Kita melakukan semua dengan sabar. Kalaupun ada keluhan, kadang itu disampaikan dengan humor hitam. Bila keadaan akibat negara (cq pemerintah) tak menjalankan kewajiban itu terjadi di Eropa, Amerika, bahkan Jepang, tentu sudah berlangsung protes keras dan demonstrasi.
Begitu pun soal tolong-menolong sesama korban ataupun warga. Saya kira cerita semacam ini sudah menjadi kisah harian di negeri kita.
Soal solidaritas, kebersamaan, dan aktualisasi diri dalam konteks sosial? Sesungguhnya semua itu merupakan watak dasar dari kita, bangsa Indonesia. Kenapa hal itu terasa luntur atau katakanlah dipilin dan dimanipulasi menjadi solidaritas yang destruktif, seperti korupsi, kebohongan, kemunafikan, dan kekerasan fisik, itu dapat dibahas di tempat lain.
Dalam konteks tulisan ini, kita bisa membuktikan bagaimana manusia Indonesia pada dasarnya lebih sebagai homo socius ketimbang homo individualis. Kita merasa belum menjadi ”diri”, menjadi ”manusia” atau dadi wong kata orang Jawa, jika belum merasa berbuat untuk (kepentingan) orang lain/banyak. Pada momen itu kita merasa sebagian dari diri (jiwa dan pikiran) kita hampa, kosong.
Maka, lihatlah betapa banyak dari kita mencari momen itu dan mengisinya dengan pelbagai tindak sosial. Tak peduli ia agamawan, orang terpelajar, koruptor, atau penjahat sekalipun. Ada yang datang langsung ke daerah korban, ke tempat fakir, dan masuk ke ruang-ruang spiritual (yang sebagian ditawarkan seperti jasa spa atau tempat hiburan), dan seterusnya.
Tidak seperti dinyatakan Profesor Nobuto, semua berakar dalam kebudayaan asli dan dalam spiritualitas asli rakyat, bukan sekadar hasil pendidikan, seperti di Jepang yang datang dari masa Restorasi Meiji. Pendidikan adalah stimulus kuat, tetapi kebudayaanlah yang memberi fondasi. Akar kebudayaan kitalah yang membuat modus eksistensial kita berproses melalui konteks dan acuan sosialnya.
Selimut posmodern
Belakangan ini kita sama-sama mengeluh, bagaimana semua realitas diri yang sesungguhnya itu seperti hilang. Lalu, kita melihat Jepang yang begitu modern, tetapi tetap pada kekuatan etos dan etika tradisionalnya.
Namun, benarkah demikian Jepang saat ini? Dalam laporan pada hari yang sama, dengan opini dari profesor yang sama, Nobuto, Kompas melaporkan bahwa rakyat Jepang mulai kehilangan kepercayaan kepada pemerintah soal penanganan ancaman bencana nuklir.
Artinya, dalam waktu tidak lebih dari sebulan, gejala ketidakpercayaan kepada pemerintah—yang juga kita alami saat ini—sudah terlihat di negeri semakmur Jepang. Untuk ketidakpercayaan semacam itu, rakyat Indonesia membutuhkan waktu hampir setengah abad dan berganti lima presiden. Pukulan keras yang menghantam karakter kultural kuat bangsa kita datang bertubi, tidak hanya dari alam, tetapi juga dari sepatu dan peluru militer, dari politik yang selfish dan koruptif, dari pengusaha gergasi yang melihat manusia sebagai lembaran dollar saja, dari cara hidup yang artifisial dan virtual, dari gempuran kepentingan asing.
Saya kira, tanpa harus mengalami sejarah seperti rakyat Indonesia, Jepang—juga negara-negara ”hebat” Eropa dan Amerika—akan mendapatkan rakyat yang keras, ganas, culas, dan seterusnya. Karakter—pada momen itu—hanya tersisa dalam catatan historis dan biografis.
Hal yang menarik dari krisis kepercayaan orang Jepang, antara lain, hanya didasarkan pada informasi dari luar, tentang rentang aman radiasi nuklir. Amerika Serikat menyatakan 80 km, otoritas Jepang 30 km. Pemerintah AS dan sekutunya segera mengevakuasi warga di rentang 80 km, bahkan menutup kantor kedutaan di Tokyo yang berjarak 200 km.
Hanya dengan kerancuan informasi itu ”karakter kuat” orang Jepang goyah. Bagaimana membayangkan diri Anda, sebagai orang Indonesia, yang berdekade mengalami kerancuan semua standar dan ukuran, kehilangan etos dan etika? Akan tetapi, hingga hari ini, kesabaran itu, solidaritas itu, humor hitam itu, kesatuan bangsa itu, masih tetap bertahan. Tidakkah kita begitu kuat?
Mungkin belum banyak kita menyadarinya. Sangat sedikit yang dapat mengeksplorasi dan memanfaatkannya. Zaman posmodern ini telah memberi kita selimut hangat, yang tidak hanya menutupi rasa dingin dan cemas kita secara palsu, tetapi juga secara langsung menutupi (baca: menyembunyikan) realitas diri dan kekuatan kita yang sebenarnya itu.
Radhar Panca Dahana Budayawan
(Sumber: 23 Maret 2011)

Sabtu, 26 Maret 2011

Perlindungan TKW

Said Aqiel Siradj

Gemuruh revolusi rakyat di negara-negara Timur Tengah menyisakan kisah tentang nasib tenaga kerja kita. Mereka ikut terkena getah karena harus dipulangkan ke Indonesia. Ini berarti hilang mata pencaharian mereka.Pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya tenaga kerja wanita (TKW), ke luar negeri telah menjadi fakta selama ini. Diperkirakan 70 persen lebih dari 2,5 juta lebih buruh Indonesia yang mengais rezeki di negeri orang adalah perempuan. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga.
Fakta lanjut adalah kerap terjadinya perlakuan tak manusiawi, seperti penyiksaan hingga pembunuhan terhadap TKW. Pengiriman TKW ke luar negeri kemudian dipandang rawan. Banyak kalangan prihatin karena masih minimnya perhatian pemerintah.
Ketentuan fikih
Perdebatan mengenai pengiriman TKW ke luar negeri bukanlah hal baru. Isu ini selalu muncul ketika terjadi masalah menyangkut nasib mereka di tempat kerjanya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan pernah mengeluarkan fatwa haram terkait perempuan menjadi TKW. Ketentuan itu berlaku kalau kepergian perempuan itu tidak disertai mahram (pendamping).
Dalam fikih memang ada ketentuan bahwa seorang perempuan yang bepergian harus disertai mahram. Misalnya, dalam kitab Amal Al-Mar`ah fi Mizan Al-Syari’ah Al-Islamiyah (1978) karya Imad Hasan Abul Ainain disebutkan, haram hukumnya seorang perempuan Muslimah melakukan perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram atau suami meski untuk menunaikan ibadah haji yang wajib.
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni bahkan menyatakan, siapa saja perempuan yang tidak punya mahram dalam perjalanan haji tidak wajib naik haji. Ada hadis, ”Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali disertai mahramnya.” Fatwa yang melarang perempuan bekerja sebagai TKW juga berangkat dari hukum asal bahwa perempuan tak boleh bekerja ke luar rumah.
Pandangan yang mengharamkan ini juga berdasarkan pertimbangan bahwa keberadaan TKW telah menjadi perantaraan munculnya berbagai hal yang diharamkan syara’. Misalnya, terjadinya pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan, pembunuhan, pemotongan upah atau pungutan liar. Ada kaidah fikih, al-Wasilah ila al-Haram Muharramah, segala perantaraan yang mengakibatkan terjadinya keharaman hukumnya haram.
Berdasarkan status keharaman ini, pengiriman TKW ke luar negeri pun wajib dihentikan. Ini juga sesuai kaidah fikih al-Dharar yuzaal, segala macam bahaya wajib dihilangkan.
Di altar lain, pandangan keharaman TKW untuk bekerja ke luar negeri dengan sebab hukum (’illat) tanpa mahram ini oleh berbagai kalangan dianggap membalik logika. Pasalnya, kalau negara tak mampu memberikan perlindungan kepada buruh migran, khususnya perempuan, dan tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai di dalam negeri, mengapa perempuan yang dilarang bekerja di luar negeri? Masalah TKW perlu dilihat sebagai masalah ekonomi-politik daripada soal agama.
Fatwa mengenai mahram lalu dipandang tidak operasional karena bertentangan dengan realitas sosial. Jutaan perempuan terpaksa harus bekerja ke luar rumah atau ke luar negeri karena kebutuhan perut yang tidak bisa dipenuhi oleh suami dan orangtua mereka. Pelarangan itu melanggar HAM karena setiap orang berhak mencari penghidupan yang layak.
Sudah sepatutnya digunakan hukum asal bahwa perempuan dan laki-laki boleh sama-sama bekerja di luar rumah. Dalam hukum agama disebutkan, bila ada yang membahayakan, baik terhadap perempuan dan laki-laki, kegiatan tersebut harus dihentikan sementara sampai bahaya itu bisa diatasi. Gangguan itu bisa bersifat personal atau berasal dari sistem. Gangguan yang berasal dari sistem adalah tanggung jawab pemerintah.
Setakat itu, lalu lahirlah apa yang disebut fikih sulthoni. Dalam fikih itu pemerintah diserahi tugas untuk menetapkan kebijakan. Misalnya, TKW tidak bisa dihentikan untuk bekerja karena kebutuhan ekonomi mereka. Dalam hal ini, pemerintah harus melindungi keselamatan mereka, bukan mengharamkan mereka pergi bekerja.
Hadis mengenai mahram berhubungan dengan keselamatan perempuan. Pandangan ini merupakan upaya reinterpretasi mengenai mahram. Maka, mahram dalam hal ini ditafsirkan mengacu kepada pemerintah dengan segala elemen dan kebijakannya yang memberi perlindungan kepada warga negara yang bekerja di luar negeri.
Acuan hukum negara
Ada kaidah fikih, hukum al-hakim yarfa’u al-khilafa, hukum pemerintah akan menghilangkan perbedaan. Dari kaidah fikih ini kita bisa meninjau bagaimana perundang-undangan negara kita dalam melindungi TKI/TKW.
Perundang-undangan yang terkait dengan TKI/TKW sebenarnya sudah termaktub dalam UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal 6 menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri. Di Pasal 7 disebutkan, ”dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut pemerintah berkewajiban: (a) menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKW/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI maupun yang berangkat secara mandiri; (b) mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI; (c) membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri; (d) melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; (e) memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.”
Dalam Pasal 77 hingga Pasal 84 bahkan telah diatur mengenai kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap TKW/TKI selama penempatannya di luar negeri melalui perwakilannya di luar negeri dan perwakilan perusahaan swasta yang melaksanakan penempatan TKW/TKI di luar negeri.
Secara konstitusi, negara sudah menetapkan undang-undang dalam melindungi para TKW, yang mencakup hak hidup, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak atas perlakuan sama di hadapan hukum dan dianggap sebagai subyek hukum dan bukan obyek hukum. Dengan kata lain, pengiriman TKW ke negara-negara tertentu yang tidak dapat menjamin ada perlindungan hukum atas HAM serta perlakuan yang wajar dan manusiawi bagi TKW bisa dihentikan untuk sementara waktu sampai keadaan kondusif.
Walhasil, konstitusi soal TKW sebenarnya hanya soal implementasi. Persoalan TKW bukan tidak ada solusinya, dan kita melihat pemerintah sudah punya kebijakan politik untuk menanggulangi nasib para TKW di mancanegara. Pemerintah sebagai pelindung TKW memang bisa dan harus bertindak cekatan dan tegas demi mengatasi masalah- masalah yang sering dialami TKW di mancanegara.
Said Aqiel Siradj Ketua Umum PBNU
(Sumber : Kompas 21 Maret 2011)

Kehidupan Mendatang

(Resensi buku The Next 50 Years)
Print
Dunia akan berubah, itu pasti. Perubahanperubahan itu akan mencengangkan bagi sebagian orang. Namun, akan menjadi hal biasa bagi sebagian lainnya.


Ramalan akan perubahan dunia yang cukup dahsyat ditulis secara rinci dan apik oleh Richard Watson dalam The Nexy 50 Years. Namun, konsultan IBM, Coca-cola, dan McDonald ini tidaklah meramal demi ramalan itu sendiri,melainkan untuk membuka diskusi mengenai risiko-risiko dan kesempatan-kesempatan masa depan.Tidak hanya meramal dan memprediksi, Watson mampu memberi sudut pandang baru sehingga semua menjadi lebih jelas dan terang.

Dua Tren Besar

Ada beberapa ramalan yang patut kita renungkan bersama. Urbanisasi dan meningkatnya jumlah orang yang hidup sendiri. Hal tersebut merupakan dua tren besar pada awal abad 21. Pada 2006, 25% rumah di Inggris ditinggali orang yang hidup sendirian. Jumlahnya di Australia mencapai 17%. Sementara angka ini di Amerika Serikat tumbuh menjadi 30% dalam 30 tahun akibat faktorfaktor seperti lajang yang tetap sendirian dalam waktu lama, mudahnya perceraian, dan masa hidup yang lebih panjang, khususnya bagi wanita. Singkatnya, akan terjadi kekurangan angka kelahiran dan kematian. Karena itu, populasi global menurun pada sekitar 2050, mengakhiri rasa takut akan terlalu padatnya planet kita.

Hal ini terlihat pada angka statistik masa kini. Sekitar 22% wanita di Inggris mengatakan, mereka tidak berharap mempunyai anak. Jika tren ini tetap berlanjut, sebagian besar pusat kota pada 2050 akan berisi orang-orang lajang yang kaya, keluargakeluarga kaya,serta pasanganpasangan homo dengan pendapatan setelah pajak yang tinggi dan pandangan politik liberal. Area perdesaan yang masih hidup akan ditempati orang-orang kaya penyuka pertanian yang berbaur dengan para downshifter (orang-orang yang lebih mengutamakan kebahagiaan daripada materi) dan para pengelana digital.

Manusia Hibrida

Lebih aneh lagi, pada 2050 akan ada dua spesies dengan tingkat kecerdasan yang begitu tinggi di muka bumi,yaitu manusia tradisional yang murni secara genetis dan manusia hibrida yang dilengkapi teknologi. Manusia hibrida adalah “orang-orang” yang secara genetis dimanipulasi penyuntikan DNA tertentu untuk mencegah penyakit tertentu atau untuk menciptakan tingkat emosi atau kepribadian tertentu.

Mereka juga akan disempurnakan secara robotika dan terkomputerisasi untuk meningkatkan kekuatan, penglihatan, atau kecerdasan. Sekali lagi, sebagian orang akan berevolusi dengan amat lambat. Sementara sebagian lainnya akan berubah secepat yang dimungkinkan etika dan teknologi. Pada 2050, Hollywood, industri komputer, ilmu syaraf, dan industri farmasi akan bergabung. Dengan demikian, secara legal dan ilegal,orang bisa menghabiskan hari di dunia lain dengan lima indra manusia. Ini seperti film Matrix dan Logan’s Run,tapi dalam bentuk nyata (halaman 23). Lebih dari itu, perangkat lunak cerdas pada 2050 akan mampu mengenali yang salah pada diri Anda dan situs seperti Genes Reunited akan menawarkan sejarah genetika yang memungkinkan orang untuk mengantisipasi penyakit dan cacat keturunan.

Anda juga akan dapat menyewa atau membeli robot pembedah untuk melakukan operasi di rumah atau kantor Anda. Hal inilah yang menjadikan komputer akan lebih cerdas daripada manusia pada 2030. Aspek lain yang menggelitik dan mengkhawatirkan dari isu ini adalah bertemunya komputasi, robotika, dan teknologi nano. Penggabungan ketiga ilmu ini dapat membangkitkan mesin yang mampu membuat tiruan diri mereka sendiri. Masa depan tidak akan menjadi pengalaman yang searah dan tidak pula berjalan tanpa kesimpulan. Orangorang dengan usia yang sama, pekerjaan yang sama, tinggal di jalan yang sama akan mengalami masa depan dengan cara yang berbeda.Masa depan pun akan sangat dipengaruhi lokalitas dan kegiatan yang amat personal.

Masa depan juga merupakan sesuatu yang kita ciptakan sendiri.Beberapa di antara kita akan merangkul teknologi dan globalisasi, sedangkan yang lain akan berusaha untuk lari darinya. Sesungguhnya, masa depan akan menjadi pertarungan antara mereka yang berlari mengejarnya dan mereka yang berlari menghindarinya menuju bentuk masa lalu yang nyaman dan tidak tercemar (halaman 382). Menilik kondisi yang demikian, pantaslah jika kita merenungkan yang pernah dikatakanWilliam Shakespeare.Masa lalu dan yang akan datang tampaknya memang yang terbaik. Sementara yang terjadi pada saat ini adalah yang buruk.

Buku ini dipenuhi ramalan provokatif mengenai bagaimana dunia akan berubah dalam setengah abad mendatang. Buku ini menguji pola-pola dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat, teknologi, ekonomi, dan bisnis. Dihadirkan pula dugaan-dugaan yang mendidik mengenai ke mana semua itu akan membawa kita. Akhirnya, banyak yang telah terjadi dalam 50 tahun terakhir dan tidak ada alasan untuk menganggap bahwa 50 tahun ke depan tidak akan demikian.●

Benni Setiawan,
Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta 
(Sumber: Seputar Indonesia, 20 Maret 2011)

Jumat, 25 Maret 2011

Kerukunan Beragama Pascarevolusi

Oleh: Hasibullah Satrawi
Revolusi Mesir yang berhasil melengserkan Hosni Mubarak ”bertarif” sangat mahal.
Revolusi Nil ini tak hanya harus dibayar dengan instabilitas keamanan yang kian tak menentu. Namun, ratusan nyawa juga melayang akibat revolusi tersebut. Bahkan revolusi 25 Januari itu berpotensi memakan korban jiwa lebih banyak mengingat revolusi itu seakan membuka pintu konflik sektarian yang mengancam keberlangsungan kerukunan antarumat beragama.
Selama ini Mesir dikenal dengan kerukunan antarumat beragama yang bisa menjadi model kerukunan bagi negara-negara lain. Sebuah kerukunan yang tak hanya berlangsung indah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sana, juga di kalangan elite dan pemuka agama.
Pada saat ucapan selamat Natal di republik ini diharamkan, contohnya, para ulama terkemuka Al-Azhar (seperti almarhum Grand Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi) justru turut merayakan hari raya keagamaan umat Kristen (Koptik) di sana. Sebaliknya, para pemuka Koptik juga merayakan hari raya keagamaan yang dilakukan umat Islam. Panorama toleransi yang dibintangi para pemuka agama itu senantiasa dipublikasikan secara luas oleh media di Mesir, baik cetak maupun elektronik.
Dalam buku berjudul Qabûlul Âkhâr, Milad Hana—seorang pemikir Koptik—mengatakan, ”Islam di Mesir berwajah Suni, berdarah Syiah, berhati Koptik, dan bertulang peradaban Firaun.” Ungkapan yang lebih kurang sama juga pernah disampaikan tokoh Koptik lain, Baba Syanudah. Ia mengatakan, ”Kami (bangsa Mesir) tidak hidup di negara Mesir. Mesir-lah yang hidup dalam diri kami.”
Kerukunan antara
Harus diakui, selama ini Mesir memang tidak 100 persen bersih dari konflik bercorak keagamaan dan bersemangat sektarianistik. Juga selama Hosni Mubarak memimpin negeri itu.
Meski demikian, pada masa berkuasa, Mubarak senantiasa menggunakan tangan besinya untuk menekan konflik-konflik seperti itu dengan cara menghukum tegas para pelaku anarki. Dengan begitu, konflik yang ada tidak menjalar dan menimbulkan konflik-konflik yang lain.
Akan tetapi, beberapa bulan menjelang lengsernya Mubarak, aksi kekerasan bernuansa agama marak terjadi di Mesir. Kini, setelah Mubarak lengser, konflik berbau keagamaan tersebut semakin menjadi-jadi. Pembakaran rumah ibadah pun kerap terjadi.
Sebagian pihak menuduh loyalis Mubarak sebagai dalang utama di balik semua konflik sektarian yang terjadi di Mesir saat ini. Mereka sengaja menciptakan semua kerusuhan sebagai bentuk balas dendam sekaligus ”revolusi melawan arah” (ats-tsaurah al-mudhadah) terhadap revolusi 25 Januari.
Terlepas dari benar tidaknya keterlibatan loyalis Mubarak, semua aksi kekerasan tersebut menunjukkan bahwa tangan besi yang digunakan Mubarak selama ini untuk menekan konflik bercorak keagamaan hanyalah untuk ”tujuan antara” (menciptakan stabilitas keamanan dan keberlangsungan pemerintahannya), bukan menciptakan kesadaran sejati tentang kerukunan di kalangan umat beragama.
Demi keberlangsungan pemerintahannya, Mubarak memaksa semua pihak untuk tidak berkonflik. Adapun benih-benih konflik—terutama secara teologis—senantiasa tidak tersentuh oleh tangan besi Mubarak. Akibatnya, benih-benih itu kini menjelma sebagai konflik subur seiring dengan ”terpotongnya” tangan besi Mubarak.
Belajar dari Indonesia
Apa yang dilakukan Mubarak selama 30 tahun berkuasa terkait kerukunan umat beragama hampir sama dengan yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun berkuasa di negeri ini. Keduanya sama-sama menggunakan tangan besi untuk menekan aksi kekerasan dan konflik bernuansa agama sekaligus menciptakan kerukunan yang bersifat antara.
Kondisi konflik di dua negara ini pasca-lengsernya diktator masing-masing pun sama-sama mengalami peningkatan yang sangat drastis. Bahkan tak tertutup kemungkinan kerukunan umat beragama di Mesir ke depan akan mengalami nasib yang lebih kurang sama dengan yang terjadi di negeri ini hingga sekarang, terutama bila tidak ada kedewasaan berpolitik di kalangan elite dan politisi. Terlebih lagi bila konflik dan aksi kekerasan digunakan untuk kepentingan kekuasaan yang bersifat politis.
Di sinilah pentingnya politisi Mesir pasca-Revolusi Nil mengambil pelajaran berharga dari Indonesia terkait konflik bernuansa agama. Pelajaran ini tentu bukan untuk ditiru, melainkan untuk dibuang sejauh mungkin agar kerukunan umat beragama di Mesir tidak seperti yang terjadi di Indonesia.
Hasibullah Satrawi Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah pada Moderate Muslim Society
(Sumber : Kompas, 21 Maret 2011)

Bencana Menguatkan Rakyat Jepang

Oleh: Ahmad Arif dan Dahono Fitrianto

Tokyo, Kompas - Di tengah krisis ganda akibat gempa dan tsunami, disusul ancaman radiasi karena kerusakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi, rakyat Jepang memperlihatkan jati diri sebagai bangsa berkarakter kuat. Korban bencana yang berkesusahan tetap saling berbagi, berdisiplin tinggi, dan saling menguatkan.Kekuatan karakter bangsa Jepang itu tergambar jelas dari sikap pengungsi di kota-kota terdampak gempa, seperti Kesennuma, Prefektur Miyagi. Nyaris separuh kota hancur dan banyak warga menjadi korban. Infrastruktur kota juga lumpuh dengan padamnya aliran listrik dan air.
Setiap hari warga mengantre untuk mendapat bahan bakar dan makanan. Korban selamat dan tinggal di pengungsian juga hidup dalam kondisi yang berat, terutama di tengah suhu dingin tanpa pemanas ruangan.
Namun, suasana tetap tertib. Tidak ada kerusuhan karena saling serobot. Meskipun antrean bisa mencapai 5 kilometer dan butuh waktu berjam-jam, warga tetap sabar dan disiplin.
Banyak warga negara Indonesia menjadi saksi kuatnya karakter masyarakat Jepang. ”Kami berlima diselamatkan orang Jepang, yang mengangkut kami dengan mobilnya. Jika tidak diangkut mobil itu, kami mungkin sudah mati,” kata Muhammad Irham, pelaut Indonesia yang bekerja di kapal Jepang.
Elrifin (23), pelaut asal Sulawesi Tengah yang sempat terbawa gelombang, juga diselamatkan orang Jepang. ”Setelah keluar dari air, saya berjalan tanpa sepatu di tengah salju. Sudah hampir tidak kuat. Untung ada sepasang kakek-nenek yang membantu saya,” katanya.
Ia diberi sepatu dan baju hangat. ”Saya dirangkul, diusapi seperti anak sendiri. Mereka juga membakar moci untuk saya,” ujar Elrifin.
Tak hanya daerah di utara, Tokyo juga terkena dampak tak langsung. Krisis energi berimbas pada pengurangan operasional kereta hingga 50 persen. Pemadaman listrik bergilir terjadi hingga enam jam setiap hari. Pasokan air bersih juga terbatas. Namun, tak ada kerusuhan yang terjadi. Warga dengan sukarela mengurangi pemakaian listrik sebagai sikap peduli krisis energi.
Terlihat normal
Di permukaan, kehidupan di luar kawasan bencana memang terlihat normal. Di televisi, tak ada tayangan bencana disertai lagu balada dan publikasi nomor rekening sumbangan.
Namun, bukan berarti rakyat Jepang tak membantu saudara-saudara mereka yang dirundung kemalangan. Keiji Suzuki (18), siswa SMA di Nagasaki, bersama kawan-kawannya menggelar aksi pengumpulan dana di pusat kota Nagasaki, Rabu lalu.
Hanya dalam dua jam mereka mengumpulkan tak kurang dari 2 juta yen (sekitar Rp 217 juta). ”Uang itu kami transfer ke Palang Merah Jepang,” kata Suzuki.
Di Tokyo, sekelompok mahasiswa dan alumni Fakultas Desain Sistem Tokyo Metropolitan University (TMU) secara spontan membuat peta tiga dimensi kawasan bencana di alamat http://shinsai.mapping.jp.
Peta berbasis Google Earth ditambahi informasi jalur jalan yang masih bisa dilalui, radius kawasan bahaya di PLTN Fukushima, dan toko atau supermarket yang masih buka.
Dua rekan mereka di Keiko University juga segera membuat situs http://prayforjapan.jp, yang menjadi pusat informasi warga Jepang tentang perkembangan terkini situasi di lokasi bencana.
Mahasiswa dari universitas lain menyusun laman berisi informasi peta lokasi pemadaman bergilir di sembilan prefektur di Jepang, yang bisa diakses di http://teiden.sou-sou.net.
”Tidak hanya mahasiswa. Saya pikir semua orang dengan latar belakang berbeda-beda ingin berbuat sesuatu,” kata Tomoyuki Torisu, alumnus TMU.
Secara keseluruhan, warga Jepang juga yakin mereka bisa bangkit kembali. ”Kami pasti bisa mengatasi situasi ini. Kita harus semangat!” kata Mikasa Masahiro, pengungsi di Kesennuma.
Ikatan sosial
Yamamoto Nobuto, profesor di Departemen Politik Keio University, Tokyo, mengatakan, kekuatan masyarakat Jepang untuk bangkit berakar dari rasa memiliki komunitas. Rasa memiliki ini tampak saat terjadi bencana.
”Jika komunitas berada dalam bahaya, artinya seluruh anggota dalam bahaya. Karena itu, mereka ingin memastikan komunitasnya aman. Komunitas menjadi basis sosial dari kehidupan mereka, terutama di desa-desa yang terkena bencana,” kata Nobuto.
Anggota komunitas saling berbagi. ”Contohnya adalah upaya hemat energi yang dilakukan warga. Ketika pemerintah mengumumkan defisit listrik, warga di daerah Kanto, yang tidak terdampak langsung, secara sukarela mengurangi konsumsi listrik mereka,” ungkapnya.
Nobuto menambahkan, sikap rakyat Jepang ini dibentuk dari proses pendidikan. ”Ini bukan agama atau kebudayaan. Ini pendidikan, yang disiapkan sejak Restorasi Meiji,” ujarnya.
Menurut Nobuto, Restorasi Meiji menciptakan mayarakat Jepang yang tidak mengenal pembedaan kelas sosial. ”Orang pikir semua orang sama. Kalau susah, semua susah. Tidak ada pembedaan kelas. Walaupun ada yang punya uang dan tidak, semuanya merasa sebagai kelas menengah. Dan, kalau bencana terjadi, mereka pikir semua orang sama,” paparnya.
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, pakar penginderaan jarak jauh di Chiba University, Jepang, mengatakan, sikap orang Jepang ini dilatarbelakangi kondisi alam Jepang yang penuh tantangan, labil secara geologi, dan miskin sumber daya alam.
Dengan kondisi seperti itu, rakyat Jepang memiliki karakter selalu ”khawatir”. ”Tetapi, mereka ambil sisi positifnya, menjadi sumber ide untuk mengatasi kondisi itu. Misalnya, membuat rancangan bangunan tahan gempa atau sistem prediksi gempa,” tutur Josaphat, yang sejak 1990 bermukim di Jepang.
Alhasil, orang Jepang selalu berpikir dan menciptakan hal baru untuk mengantisipasi bencana dan mengatasi tantangan itu bersama-sama. ”Rasa kebersamaan inilah yang menjadi kunci kebesaran bangsa ini,” katanya.
Orang Jepang selalu merasa dirinya sebagai bagian dari kelompok atau komunitas yang lebih besar. Dengan demikian, apa pun yang mereka lakukan ditujukan untuk memberikan manfaat bagi komunitas itu.
(Sumber: Kompas, 21 Maret 2011)

Menanti Kelas Menengah yang Berkualitas

KOMPAS.com - Pertambahan jumlah penduduk yang tergolong kelas menengah di Indonesia dianggap sebagian kalangan belum bermutu. Partisipasi kelas ini dalam pembangunan tidak saja diharapkan melalui kegiatan konsumsi yang menggerakkan perekonomian. Akan tetapi, lebih jauh dari itu juga diharapkan berperan sebagai agen perubahan.
Sulit memang menemukan definisi yang mampu secara tuntas menggambarkan kelas menengah. Pun, tak ada standar yang bisa diklaim sebagai batasan yang tepat untuk golongan menengah.
Sejarah di Eropa memperlihatkan, kelas menengah merujuk pada lapisan antara kaum bangsawan dan kaum petani. Peneliti dari bidang yang berbeda mendefinisikan dengan cara lain, yaitu berdasarkan pendidikan dan pekerjaan. Dalam ekonomi, biasanya para ahli menggunakan pola pendapatan atau pola pengeluaran sebagai acuan.
Pendekatan yang populer digunakan adalah penghampiran absolut, khususnya dengan batasan pengeluaran per orang sebesar 2-20 dollar AS setiap hari. Laporan yang menggunakan acuan ini, seperti yang dipublikasikan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB), menunjukkan adanya peningkatan distribusi populasi kelompok menengah di negeri ini dari sekitar 25 persen pada tahun 1999 menjadi 43 persen atau sejumlah 93,3 juta jiwa pada tahun 2009.
Informasi dari Bank Dunia yang menganut batasan yang sama juga menunjukkan kenaikan signifikan golongan menengah Indonesia. Pada 2003, kelompok ini berjumlah 81 juta jiwa. Dengan adanya tujuh juta penduduk yang setiap tahunnya ”naik kelas” dari golongan miskin, lapisan tengah Indonesia menggelembung menjadi 131 juta pada 2010.
Catatan dari Badan Pusat Statistik pun menunjukkan kenaikan jumlah lapisan antara ini seiring dengan penyusutan jumlah penduduk miskin sejak 1999. Pada 2010, tercatat hanya ada 13,33 persen penduduk miskin atau setara 31,02 juta jiwa. Bandingkan dengan kondisi 1999 dengan angka kemiskinan yang mencapai 23,4 persen atau sama dengan 47,9 juta jiwa.
Sayangnya, sampai saat ini kelas menengah di Asia, termasuk Indonesia, belum punya ”gigi”. Laporan ADB dan Bank Dunia menunjukkan sekitar 70 persen warga lapisan sela di negeri ini atau 69 juta jiwa (2009) rawan jatuh kembali ke perangkap kemiskinan. Hanya sebagian kecil yang hidup di atas tingkat subsisten dan mampu menabung.
Jika kelas menengah berkualitas, ia tidak hanya memiliki posisi kuat secara ekonomi. Anggota kelas ini nantinya harus mampu mendorong terciptanya inovasi, produk murah, bahkan membuka lapangan kerja.
Selain itu, kekritisan anggota kelas ini akan melahirkan suara vokal yang menginginkan pelayanan publik yang lebih baik dan efisien. Pemikiran-pemikiran yang tajam juga akan menjadikan kelompok tengah sebagai sumber pemimpin dan aktivis yang bergerak untuk menciptakan pemerintahan dengan akuntabilitas tinggi. (RATNA SRI WIDYASTUTI/Litbang Kompas)
(Sumber: Kompas, 21 Maret 2011)

China Menekan Jumlah Petani

Guangzhou, Kompas - Pertumbuhan sektor perindustrian di China yang sangat pesat mampu menyelamatkan sektor pertanian dari jerat kemiskinan. Populasi petani di China semakin berkurang, sementara pendapatan petani dan tenaga kerja eks pertanian mampu ditingkatkan.
Hal itu diungkapkan Presiden Guangdong Agribusiness (GDA) Group Corporation Lei Yong Jian di Guangzhou, China, pekan lalu, dalam jamuan makan siang bersama Direktur Utama PT Industri Gula Nusantara (IGN) Kamadjaya serta Komisaris IGN Katherine Hendrik dan Andreas B Utomo.
Sebelumnya, para pemegang saham IGN dan GDA menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara GDA melalui PT Gendhis Multi Manis (GMM) dan PT Permata Hijau Resource (PHR). GMM dan PHR menggandeng GDA membangun dua pabrik gula di Blora, Jawa Tengah, dan Sambas, Kalimantan Barat, dengan total investasi diperkirakan Rp 4,7 triliun.
Menurut Lei Yong Jian, Pemerintah China secara tidak langsung mampu memindahkan tenaga kerja di sektor pertanian ke industri, termasuk industri pengolahan berbasis pertanian. Jumlah petani yang bekerja di ladang pun berkurang.
”Jika 30 tahun lalu tenaga kerja di pertanian 600 juta, sekarang tinggal 300 juta,” katanya. Penurunan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian diiringi peningkatan pendapatan petani dan para petani yang beralih bekerja ke sektor industri. Saat ini populasi penduduk China sekitar 1,2 miliar jiwa.
Pemerintah China menyadari bahwa lahan pertanian tidak bertambah luas. Sementara populasi penduduk terus bertambah. Meningkatnya jumlah penduduk yang menjadi petani dan bekerja di ladang menyulitkan peningkatan pendapatan mereka mengingat lahan yang bakal dikelola petani makin sempit.
Karena alasan itu, Pemerintah China gencar mengembangkan industri. Para petani yang bekerja di ladang perlahan-lahan ditarik dari ladang dan bekerja di pabrik-pabrik. Para petani juga bekerja di industri pengolahan.
Direktur Ekonomi Luar Negeri pada Kantor Pertanian Negara Guangdong, Wu Gui zhou mengatakan, modernisasi melalui mekanisasi tentu akan mengurangi pekerja di sektor pertanian. Agar petani tidak menjadi korban, mereka harus ditarik ke sektor lain, yakni ke sektor industri melalui urbanisasi.
Bagi petani yang masih bertahan di ladang, Pemerintah China memberikan dukungan, seperti subsidi obat- obatan, benih, alat-alat pertanian, dan jaringan irigasi. Infrastruktur dasar, seperti jalan dan listrik, juga disediakan pemerintah.
Berdasarkan pengamatan Kompas, jaringan infrastruktur dasar di China, seperti jalan dan listrik, tersedia dengan baik. Jalan-jalan ke kebun tebu di GDA, misalnya, halus dan lebar. Jaringan jalan tingkat kecamatan di sana, bahkan tak ubahnya seperti jalan protokol di Jakarta. Hampir semua jalan di China dibangun berbeton.
Bagaimana kebijakan China dalam pembangunan jaringan infrastruktur jalan? Wakil Direktur Biro Pertanian Negara Zhanjiang, Huang Guogiang, mengungkapkan, pembangunan jalan di China menyesuaikan rencana pembangunan pemerintah pusat yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan perusahaan. Jaringan infrastruktur di dalam perkebunan menjadi tanggung jawab perusahaan.
Direktur Utama IGN Kamadjaya menyatakan, mekanisasi merupakan jalan keluar untuk meningkatkan daya saing industri pergulaan nasional. Tanpa mekanisasi, industri gula nasional bakal kalah bersaing. (HERMAS E PRABOWO dari Guangzhou, China)
(Sumber: Kompas, 21 Maret 2011)

Minggu, 20 Maret 2011

Kelas Menengah, Baru Sebatas Jumlah

Artikel: Ninuk M Pambudy
Seandainya pertunjukan ”Musikal Laskar Pelangi”, 17 Desember 2010 hingga 9 Januari 2011, di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, bisa menjadi indikator kelas menengah Indonesia, gambar yang terpampang adalah optimisme.
Tiket pertunjukan musikal berdurasi tiga jam itu terjual habis. Penonton berlaku tertib saat antre masuk ataupun keluar dan selama pertunjukan. Sesekali terdengar tawa menyambut dialog pemain, tetapi tidak teriakan.
Pertunjukan musikal masih langka digelar di Indonesia. Toh, penonton membayar karcis tak murah pada ”Musikal Laskar Pelangi”, dari Rp 100.000 untuk kelas 3 hingga Rp 750.000 untuk kelas VVIP. Melihat harga tiket, jenis pertunjukan, dan penuhnya tempat parkir oleh mobil pribadi, inilah gambaran terkini kelas menengah Indonesia.
Di sisi lain, rencana Menkominfo memblokir layanan pencarian internet BlackBerry jika produsennya, Research in Motion, tidak menutup situs-situs pornografi mengundang komentar ramai di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Diskusinya lebih riuh daripada pernyataan tokoh agama yang menagih kejujuran pemerintah dalam penanganan beragam persoalan dasar bangsa.
Siapakah kelas menengah?
Ir Sutarum Wiryono, MSc (50), officer bidang pendidikan di Bank Pembangunan Asia (ADB) di Jakarta, misalnya, mengaku belum tertarik pada politik meski pernah ditawari mencalonkan diri menjadi wakil bupati di Yogyakarta. Dia lebih tertarik aktif di masjid dan ikut menyumbang pada kegiatan ekonomi di situ selain aktif dalam kelompok kecil profesi. ”Ngapain cari penyakit (dengan masuk ke politik), nanti ujungnya masuk penjara,” kata dia.
Perhatian pada masalah bangsa disalurkan melalui kerja profesionalnya dalam bidang pendidikan. ”Saya berbuat melalui sisi profesi, misalnya ikut membuat kajian dan standar pelayanan pendidikan,” tutur dia.
Kualitas
Pemerintah mengklaim ekonomi RI sebagai terbesar ke-16 di dunia dan produk domestik bruto (PDB) 3.000 dollar AS per kapita. Tahun ini target pertumbuhan ekonomi 6,4 persen, lebih tinggi dari tahun 2010 yang 5,9 persen, meski dibayangi inflasi oleh harga pangan karena cuaca buruk dan bahan bakar minyak yang subsidinya dibatasi. Kajian ADB pertengahan 2010 juga menunjukkan bertambahnya jumlah kelas menengah di Asia.
Ada banyak definisi kelas menengah. Anthony Giddens, misalnya, menyebut kelas menengah sebagai mereka yang karena pendidikan dan kualifikasi teknisnya dapat menjual tenaga serta pikirannya untuk mencari penghidupan yang hasilnya secara materi dan budaya jauh di atas buruh (Sociology, 2001).
ADB dalam laporan pertengahan 2010 mengukur besarnya kelas menengah di Asia berdasarkan tingkat pengeluaran, 2-20 dollar AS per kapita per hari. Kelas menengah-bawah berpengeluaran 2-4 dollar AS (sekitar Rp 540.000-Rp 1,1 juta/orang/bulan atau Rp 2,16 juta-Rp 4,4 juta per keluarga dengan 4 anggota); kelas menengah-tengah 4-10 dollar AS (Rp 1,1 juta-Rp 2,7 juta/orang/bulan); dan kelas menengah-atas 10-20 dollar AS (Rp 2,7 juta-Rp 5,4 juta/orang/bulan).
Meski total kelas menengah Indonesia meningkat, dari 45 juta orang pada tahun 1999 menjadi 93 juta orang pada 2009, jumlah kelas menengah-bawahnya 74 persen.
Kelas menengah-bawah ini rawan tergelincir jadi miskin kembali. Artinya, sebagian besar kelas menengah belum mampu menciptakan pembentukan modal yang juga penting untuk mengakses teknologi modern. Kelas menengah-tengah dan ataslah yang dapat hidup di atas garis subsisten, bahkan menabung dan membeli barang di luar kebutuhan dasar.
Data ADB memperlihatkan, pembentukan modal Indonesia jauh di bawah China dan India sehingga dalam jangka panjang PDB kedua negara itu tetap tak terkejar negara ”pesaingnya” di Asia, termasuk Indonesia.
Kritis
Jajak pendapat Litbang Kompas di 10 kota besar di Indonesia memperlihatkan, kelas menengah-bawah tidak tertarik membahas persoalan di tingkat kota/wilayah, apalagi nasional. Mereka juga tidak tertarik pada organisasi politik dan lebih memilih organisasi profesi atau keagamaan.
Dr Yanuar Nugroho, pengajar di Manchester Business School, Inggris, yang meneliti media sosial dan kelas menengah di Indonesia, berpendapat, di Indonesia belum terbentuk kelas menengah sesungguhnya. Antara yang dicitakan dan yang dilakukan tidak berhubungan. Mereka percaya ide-ide demokrasi, tetapi tidak mau terlibat aktif dalam politik atau memengaruhi keputusan publik. ”Paling ramai di Facebook atau Twitter,” kata dia.
Direktur Eksekutif Econit Hendri Saparini berpendapat, di Indonesia yang pemerintahnya tidak memberi jaminan sosial untuk seluruh rakyatnya, ukuran 2 dollar AS/hari akan sangat tidak memadai untuk menjadi ukuran kelas menengah. Pengeluaran tingkat menengah-bawah yang sebetulnya berada dalam keadaan hampir miskin sebagian besar habis untuk pangan.
Hendri melihat, yang masuk dalam kategori kelas menengah Indonesia adalah yang dalam data statistik bekerja dalam bidang jasa kemasyarakatan; bukan tak mungkin termasuk tukang reparasi di pinggir jalan dan tukang jahit keliling.
Sistem pemilihan langsung kepala daerah dan presiden menurut Hendri juga menyumbang lahirnya ”kelas menengah”, selain karena program pemerintah seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang membagi-bagi uang pembangunan ke desa.
Saat ini, menurut Yanuar, kelas menengah Indonesia lebih bersikap apolitis, tetapi mudah digerakkan sentimennya, terutama yang pengeluarannya 2 dollar AS/hari. Itu menjelaskan mengapa bertambahnya kelas menengah tak diikuti menurunnya perilaku kekerasan dan fundamentalis. ”Ini tak akan terjadi pada kelas menengah sesungguhnya. Mereka pasti melawan tindak kekerasan atau fundamentalisme karena itu membahayakan posisi ekonomi mereka,” kata Yanuar.
Membangun kelas menengah yang berkualitas adalah tantangan pemerintah saat ini, bukan sekadar membanggakan angka-angka kualitatif.
(Sumber: Kompas , 14 Januari 2011)

Sabtu, 19 Maret 2011

Teknologi dan Industrialisasi

Print
Negara-negara di dunia berlomba-lomba meningkatkan kemampuan negaranya agar bersaing di pasar global untuk masa sekarang dan yang akan datang. Fakta membuktikan bahwa negara yang menguasai teknologi yang dapat bersaing di percaturan global sekalipun negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA).

Sebagai contoh Jepang dan Korea Selatan, kedua negara ini termasuk pengekspor produk teknologi yang mempunyai nilai tambah tinggi dan menjadikannya di barisan negara maju. Indonesia termasuk beruntung karena dikaruniai SDA melimpah yang bisa diekspor, tetapi sampai kapan keberuntungan ini? Di dalam fakta sejarah, penguasaan teknologi yang dimiliki negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), negara-negara Eropa, dan Jepang sudah dimulai sejak zaman revolusi industri pada awal abad 19.

Mark Fruin (1992) di dalam The Japanese Enterprise System menjelaskan fase industrialisasi Jepang sejak zaman Tokugawa (1603-1868) dan berkembang pesat ketika Restorasi Meiji (1868-1911) untuk mengatasi ketertinggalan dari Eropa dan AS.Cikal bakal raksasa industri Jepang seperti Mitsubishi, Sumitomo, Kawasaki sudah ada sejak zaman Tokugawa dan Meiji.

Adapun raksasa industri lainnya banyak lahir sebelum berakhirnya perang dunia kedua seperti Mitsui (1911),Matsushita Electric (1918), Hitachi (1923), Toyota Motor (1937). Michael Best (2001) di dalam The New Competitive Advantage-The Renewal of American Industry menjelaskan perkembangan teknologi AS di mana beberapa raksasa industri AS sudah berdiri sejak abad ke-19 seperti Pratt and Whitney (1860), General Electric (1892),Ford Motors (1903), Boeing (1916). Kini AS dikenal tidak hanya menguasai teknologi industri berat, tetapi juga industri komputer dan nano technology seperti Intel,AMD, Microsoft, Apple, Motorola, IBM,HP,Google,Facebook.

Becermin pada Korsel dan China

Ketika di negara-negara maju sedang berlangsung proses industrialisasi, negara-negara Asia tengah terjajah seperti China, Korea Selatan (Korsel), termasuk Indonesia yang sama-sama lepas dari pendudukan Jepang pada 1945. Akan tetapi China dan Korsel telah bangkit dan kedua negara ini berusaha mengatasi ketinggalannya dari negara lain. Industri Korsel kini sudah dikenal di dunia dengan produk teknologinya.

Sea Jin Changi (2003) dalam bukunya memaparkan, industri Korsel tidak terlepas dari peran lima konglomerat besar (chaebol) yang dibesarkan atas dukungan pemerintah ketika negara ini membangun infrastruktur selepas pendudukan Jepang. Usia berdirinya para chaebol tidak setua perusahaan Eropa, AS, dan Jepang seperti Hyundai Construction (1950), Daewoo (1967), SK Group (1953). Adapun Samsung dengan Cheil Jedang dan LG berdiri selepas pendudukan Jepang.

Para chaebol selanjutnya melakukan ekspansi besar-besaran di sektor industri berat,konstruksi, petrokimia,energi,otomotif, elektronik, perkapalan, ritel,dan keuangan. Adapun perkembangan teknologi dan industrialisasi China dimulai pada 1978 ketika Deng Xioping mulai membuka diri dengan dunia luar, memulai reformasi ekonomi dan pada 1992 melakukan reformasi investasi (Greeven, 2004).

Agar tidak tertinggal jauh dari negara lain, China agresif mendorong BUMN melakukan reverse engineering dan membuat kebijakan transfer teknologi dengan perusahaan multinasional. Contohnya penguasaan teknologi kereta api cepat. Pada 2004 Kementerian Kereta Api China menandatangani kontrak dengan Alstom untuk membuat kereta api cepat CRH5 Pendolino dengan kecepatan 250 km/jam sebanyak 60 set, tetapi 51 set dibuat di dalam negeri dengan perjanjian transfer teknologi kepada Changchun Railway Vehicle.

Pada 2005 Kementerian Kereta Api menandatangani kontrak kembali dengan Siemens untuk membangun CRH3 Velaro dengan perjanjian transfer teknologi kepada Tangshan Railway Vehicle. Kini China sudah menguasai teknologi industri berat, komputer sampai nano technology.

Investasi dan Transfer Teknologi

Negara-negara maju memproteksi teknologinya agar tidak bisa dikuasai negara lain sehingga yang diinginkan adalah ketergantungan terusmenerus dan tetap menjadi pasar yang menarik. Negaranegara maju ingin sekali tergabung dalam pasar bebas dengan ASEAN seperti Uni Eropa, China, dan Jepang karena merupakan pasar yang menarik, terutama Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia.

Pemerintah berencana membangun infrastruktur untuk percepatan pertumbuhan ekonomi dan mendorong BUMN untuk melakukan ekspansi bisnis. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Bappenas) mencatat kebutuhan investasi infrastruktur di Indonesia hingga 2014 mencapai Rp1.923 triliun (SINDO, 22/02), sedangkan BUMN siap berinvestasi hingga Rp836 triliun sampai dengan 2014. Rencana investasi tersebut merupakan jumlah yang sangat besar yang dapat dijadikan momentum sebagai bagian dari alih dan transfer teknologi.

BUMN sudah saatnya mensyaratkan di dalam tendernya, sebagian besar peralatan dibuat di dalam negeri sekalipun masih dalam supervisi perusahaan asing. Kita berharap dari proyek pemerintah dan BUMN akan mendapatkan nilai tambah maksimal kemampuan SDM nasional. Proyek pembangunan pembangkit listrik dengan hanya mengejar biaya terpasang murah, sedangkan pemasangan dilakukan oleh tenaga asing merupakan kemunduran besar. Kalau demikian keadaannya,di mana letak human capital?

Padahal menurutJack JPhillips(2005),human capital merupakan investasi manusia untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian. Indonesia sudah 65 tahun merdeka, tetapi industrinya belum sampai ke fase elektromekanikal seperti kemampuan membuat turbin-generator, kereta api cepat, peralatan pelabuhan dan pertambangan. Oleh karena itu pemerintah saatnya menaruh perhatian besar kepada investor teknologi untuk memberikan keringanan fiskal sehingga mendorong perusahaan multinasional untuk membuka industri teknologinya di Indonesia.

Ketika industri teknologi sudah tersedia, proyek-proyek pemerintah dan BUMN mendukungnya dengan mensyaratkan untuk menggunakan produknya sehingga perusahaan asing akan tertarik untuk membuka industri teknologinya dan menjadikan Indonesia sebagai basis manufaktur. Alih teknologi dan hadirnya investor teknologi akan meningkatkan kemampuan nasional menuju gerbang industrialisasi yang menjadikan negara ini tetap bersaing ketika cadangan SDA mulai menipis.●

(Oleh: MUDI KASMUDI, Alumnus ITB dan UI, Praktisi Energi dan Industri Pertambangan)
(Sumber Seputar Indonesia, 19 Maret 2011)              

Pendekatan Baru Membangun Penduduk

Oleh: Haryono Suyono
Senin (10/1), sekali lagi Kompas mengisi halaman pertamanya dengan kekhawatiran atas pertumbuhan jumlah penduduk yang menggila, jauh melampaui perkiraan sebelumnya.
Secara resmi pemerintah mengumumkan jumlah penduduk Indonesia hasil Sensus Penduduk 2010 adalah 237.556.353 jiwa. Jika lebih diteliti, sensus itu mungkin menghasilkan angka lebih besar sebab daerah terpencil dan sukar dijangkau belum terhitung. Bisa juga angkanya lebih kecil karena daerah sulit itu justru sudah diantisipasi. Yang pasti, angka itu lebih besar dari proyeksi Badan Pusat Statistik, lembaga kependudukan lain di Indonesia, atau ahli-ahli dari luar negeri.
Di atas 5 juta
Berdasarkan analisis sementara, dari 10 provinsi berpenduduk di atas 5 juta jiwa (Jawa Barat 43 juta, Jawa Timur 37 juta, Jawa Tengah 32 juta, Sumatera Utara 13 juta, Banten 11 juta, DKI Jakarta 10 juta, Sulawesi Selatan 8 juta, Lampung 8 juta, Sumatera Selatan 7 juta, dan Riau 5 juta), terlihat tanda menarik. Sebanyak tujuh dari 10 provinsi itu menunjukkan nisbah seks di atas 100.
Itu bisa saja disebabkan kualitas layanan kesehatan lebih baik sehingga kesehatan penduduk lebih baik. Akibatnya, usia harapan hidup laki-laki penduduk makin tinggi. Kemungkinan lain bisa terjadi. Petugas sensus kurang cermat sehingga banyak perempuan penduduk terlewat dalam sensus lalu. Atau, ada tawaran kesempatan ekonomi menarik sehingga provinsi itu mampu menyedot laki-laki muda pendatang, jumlahnya meledak di hampir semua provinsi, yang mencari kesempatan kerja lebih baik
Kalau kesehatan yang membaik membuat jumlah laki-laki penduduk lebih banyak dibandingkan dengan gejala umum di masa lalu (kalau jumlah perempuan penduduk yang lebih banyak itu benar), jumlah penduduk Indonesia pada 2010 jauh lebih banyak dari angka yang diumumkan. Alasannya sederhana.
Sebanyak tiga provinsi berpenduduk besar dengan nisbah seks di bawah 100 adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Ketiga provinsi ini berpenduduk rata-rata di atas 8 juta jiwa. Dapat dipercaya, keadaan kesehatannya tak kalah dari tujuh provinsi lainnya. Jika itu benar, jumlah penduduk Indonesia mendekati 240 juta jiwa.
Kemungkinan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada hasil penghitungan akhir di bawah 237,5 juta jiwa sangat kecil karena penghitungan cepat pasti belum mencatat sisa-sisa hasil sensus, biarpun kecil jumlahnya, yang sampai ke meja kantor statistik di daerah.
Hanya dua
Dari 10 provinsi yang penduduknya besar, hanya dua yang pertumbuhan jumlah penduduknya di bawah 1 persen. Sisanya masih di atas 1,1 persen sampai 1,98 persen. Bahkan, pertumbuhan penduduk Provinsi Riau di atas 3,59 persen. Kecuali Riau yang tumbuh karena lapangan kerja yang menarik, provinsi lain banyak dipengaruhi pertumbuhan alamiah, yakni tingkat kelahiran yang membengkak kembali.
Yang perlu diwaspadai adalah provinsi besar seperti Banten, Jawa Barat, Lampung, dan Sumatera Utara. Pertumbuhan jumlah penduduk dipengaruhi tawaran industrialisasi dan perdagangan yang menarik penduduk usia kerja. Selain itu, data fertilitas provinsi ini juga menunjukkan kenaikan karena struktur penduduknya berusia muda: rawan pertambahan alamiah dengan tingkat kelahiran yang tinggi.
Jika ini terjadi, keadaan sangat berbahaya sebab ada tren yang meningkat. Lebih-lebih jika inefisiensi itu disebabkan program KB yang ditawarkan kepada sasaran yang berubah. Penawarannya tetap seperti di masa lalu sementara terjadi perubahan, yaitu penduduk dewasa makin urban dan didominasi migran.
Kekhawatiran Kompas juga beralasan karena didasarkan pada hasil Survei Demografi dan Kesehatan 2007 dan diterbitkan tanpa penyesuaian: angka fertilitas naik dari 2,3 anak menjadi 2,6 anak.
Hasil sementara sensus penduduk juga menunjukkan gejala memprihatinkan. Di kawasan yang terkenal miskin (terutama di kawasan Indonesia bagian timur seperti NTT, Maluku, dan Papua), laju pertumbuhan jumlah penduduknya masih tinggi. Jadi, faktor penduduk dalam pembangunan harus diperhitungkan dengan cermat.
Maka, diperlukan pendekatan baru untuk menyelesaikan masalah kependudukan dan kemiskinan. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan serta Pembentukan Pos-pos Pemberdayaan Keluarga di Pedesaan harus menjadi landasan dan sarana menyukseskan program pembangunan yang pro rakyat, berkeadilan, dan menyelesaikan Tujuan Pembangunan Milenium.
Inpres yang menggariskan penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga, pemberdayaan masyarakat, serta pemberdayaan usaha mikro dan kecil harus dilakukan dengan fokus dan memberi perhatian sangat tinggi pada program kependudukan. Ini terutama program pemberdayaan keluarga secara paripurna menyangkut revitalisasi program KB, kesehatan, pendidikan, dan pelatihan keterampilan yang merangsang kemandirian tinggi.
Haryono Suyono Mantan Menteri Kependudukan