Minggu, 13 Mei 2012

Paradoks Superioritas Barat

Oleh Rahman Andi Mangussara. Resensi buku Asia Hemisfer Baru Dunia (Kishore Mahbubani)

   "Selama hampir tiga abad terakhir, rakyat Asia, Afrika dan Amerika Latin menjadi obyek sejarah dunia. Keputusan-keputusan penting yang menentukan arah sejarah dibuat oleh segelintir ibu kota kunci di Barat: London, Paris, Berlin, dan Washington DC. Dewasa ini, 5,6 miliar penduduk dunia yang hidup di luar Barat tidak mau lagi menerima keputusan-keputusan yang dibuat atas nama mereka di kota-kota kunci Barat itu."
   Kutipan kalimat yang tertera pada halaman enam buku ini sungguh provokatif. Ini adalah pernyataan Kishore Mahbubani dalam Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global ke Timur yang Tak Terelakkan, yang menggambarkan dengan kalimat-kalimat keras dan tana tedeng aling-aling bagaimana Barat mendiktekan kehendaknya kepada 5,6 miliar penduduk dunia. Buku ini menyebutnya sebagai paradoks besar abad ke-21.
   Tak heran, pernyataan yang begitu keras itu dicap oleh The Economist sebagai anti-Barat. Mahbubani menyebut reaksi majalah yang menjadi corong ideologi Barat itu sebagai pembuktian atas tesisnya, yaitu bahwa masyarakat Barat memiliki sistem politik terbuka, tapi berpikiran tertutup.
   Namun, penguasa dunia itu mulai oleng. Krisis ekonomi di Amerika Serikta dan Eropa saat ini, serta ketidak mampuan mereka mengatasinya tanpa bantuan negara-negara lain, mengonfirmasikan bahwa Barat sudah tak setangguh seperti seperti periode sebelumnya.Sekaligus, pada saat yang sama, menjelaskan bahwa negara-negara lain, terutama Asia, sudah memiliki kemampuan nyaris setara dengan Barat. Langkah Amerika memanggil G-20 ketika negara ini pada 2008 terkena krisis finansial, dan bukannya negara-negara industri G-8, tulis Mahbubani, membuktikan bahwa "klub eksklusif" tak lagi relevan untuk mengatasi tantangan global.


Keberhasilan Asia
   Mahbubanimenggambarkan secara rinci kebangkitan Asia, tepatnya China dan India, sejak 30 tahun terakhir yang dimulai dari reformasi ekonomi di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Kebangkitan ekonomi China dalam waktu kurang dari setengah abad memang membuat decak kagum banyak negara, bahkan oleh pengkritiknya yang paling sinis sekalipun. Tahun lalu, ekonomi China sudah menyalip Jepang di posisi kedua, membayang-bayangi Amerika. Bukan hanya Mahbubani yang memperkirakan  negara ini akan mengambil alih kepemimpinan Amerika. Menurut bank investasi Goldman Sachs, ekonomi China akan menjadi terbesar di dunia mengalahkan Amerika sekitar 16 tahun ke depan. Ini bukan waktu yang lama.
   Menurut penulis, semua keberhasilan Asia, khususnya China dan India, didapat setelah mengadopsi pikiran-pikiran dan jalan yang ditempuh Barat, yang selama ratusan tahun memang dipromosikan dengan gencar kepada negara-negara non-Barat. Semisal, bagaimana India mengambil jalan reformasi ekonomi dengan menerapkan pragmatisme. Negara berdimensi benua ini diperkirakan akan menjadi kekuatan ekonomi nomor tiga di Asia setekah China dan Jepang.
   Namun, apa yang terjadi sekarang? Setelah negara-negara Asia itu berhasil, dan bahkan melampaui Barat, sang guru ternayat tak rela. Banyak kalangan Barat tidak bisa membayangkan ada dunia lain yang akan muncul dan mengambil alih supremasi. Mereka masih menganggap Barat-lah yang terunggul dan paling beradab, selebihnya adalah bangsa barbar yang nasibnya ditentukan di Barat. Kepercayaan akan superioritas moral dan peradaban itu masih mereka pertahankan.
   Mahbubani memberi contoh betapa lembaga-lembaga internasional yang dibentuk seusai Perang Dunia II, seperti IMF dan Bank Dunia, masih memberi hak istimewa kepada Eropa dan Amerika, yaitu hanya Amerika yang bisa memimpin Bank Dunia, sedangkan orang Eropa memimpin IMF. "Pergeseran terbesarnya adalah 89 persen penduduk dunia yang hidup di luar Barat telah memutuskan untuk berhenti menjadi obyek sejarah dan mau menjadi subyek sejarah. Mereka telah memutuskan untuk mengambil kontrol atas nasib mereka dan tak lagi membiarkan nasib mereka ditentukan oleh lembaga-lembaga global yang didominasi Barat." (hlm 148).

Dewesternisasi
   Jika Barat ngotot meneruskan sikap tak demokratis dan mencoba menafikan keberhasilan Asia, menurut Mahbubani, sebuah pukulan balik akan menghantamnya. Dalam jangka pendek, sikap penolakan Barat itu akan melahirkan delegitimasi yang dibarengi oleh serangan balik kultural. "Kita telah memasuki era pergolakan, era turbulensi de-Westernisisasi" (hal 149).
   Mungkin banyak yang menyebut fase dewesternisasi ini sebagai terlalu berlebihan. Namun, satu yang pasti bahwa model pembangunan China memang telah melahirkan gugatan akan kesimpulan Fukuyama, bahwa model Barat dan demokrasi plus demokratisme sebagai akhir dari sejarah dan puncak pencapaian umat manusia. Jauh sebelum Uni Soviet hancur, yang membuat Fukuyama menarik kesimpulan tadi, memang Barat telah rajin memproduksi mitos bahwa Barat-lah yang unggul, sedangkan di luar itu barbar.
   Mahbubani tak lupa memasukkan peran media massa Barat yang getol menyebarluaskan sekaligus ikut memproduksi mitos itu. Media-media Barat  gemar menulis frase ini: pandangan komunitas internasional atau dunia beradab yang semuanya merujuk pada negara-negara Barat, dan bukan negara lain. Jadi, kalau mereka menulis: menurut pandangan komunitas internasional, maka yang dimaksud adalah Barat. Pun, jika tulisannya: menurut pandangan dunia beradab, yang dimaksud adalah juga dunia Barat.
   Buku ini, sekalipun judulnya memakai kata "Asia", sesungguhnya yang dimaksud adalah China dan India. Dua negara inilah yang dibahas. Negara-negara Asia lainnya hanya disinggung selintas, tak terkecuali Indonesia. Sama seperti sejumlah publikasi lain.yang mebahas kebangkitan China, buku ini sangat percaya bahwa China, kelak pada waktunya, akan mengambil alih dan duduk di hierarki kepemimpinan global. Siapa yang bisa menebak arah sejarah?

Rahman Andi Mangussara, penggagas Buku KITA, peulis resensi buku dan film)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar