Selasa, 26 Juni 2012

Bisnis Jepang: Perekrutan Kuno Turunkan Daya Saing


Setiap April, ratusan lulusan baru siap terjun ke dunia korporasi Jepang. Mereka memulai hari baru bersama-sama dengan mengenakan pakaian bisnis standar warna hitam. Ada sekitar 840 perusahaan yang mengadakan perekrutan serentak selama lima bulan. Gaji awal yang ditawarkan juga sama, sekitar 200.000 yen atau Rp 23,6 juta per bulan.
   Di seantero Jepang, perusahaan memilih pegawai baru dengan resep kuno: penekanan pada loyalitas, kepatutan, dan kecocokan. Bukan berdasarkan visi atau pemikiran out of the box yang menurut para ahli sangat diperlukan perusahaan Jepang untuk melawan penurunan kinerja mereka.
   Belakangan ini, para petinggi perusahaan Jepang sering dikritik karena terlalu lamban dalam menghadapi pesaing dari luar negeri. "Perusahaan meniulai kepribadian dan melihat apakah anda cocok atau tidak," ujar Erina Seki (23), mahasiswa yang selama lima bulan ini menjalani "ritual" yang dilakukan sebagian besar rekannya, yaitu mengunjungi pameran lowongan kerja, seminar, dana wawancara.
   Tidak seperti perekrutan di belahan dunia lain yang mengedepankan kemampuan untuk memecahkan persoalan, perusahaan Jepang tampaknya lebih senang jika para karyawan dapat kompak satu sama lain. Para mahasiswa ini mendapati mereka harus menjawab pertanyaan umum yang sama dan diulang-ulang, bahkan sampai puluhan kali, dalam wawancara untuk satu perusahaan.

Pangsa pasar
   Kurangnya pemimpin kuat dan berani mengambil risiko sebagai dampak perekrutan dan sistem pelatihan yang ada selama ini tampaknya menjadi penyebab utama kemunduran perusahaan-perusahaan di Jepang.
   Toyota Motor yang pernah menjadi perusahaan otomotif terbesar dunia, harus berbagi pangsa pasar lebih besar dengan General Motors dan Volkswagen. Bahkan, produsen dari Korea Selatan, Hyundai, sudah menjadi pesaing.
   Bisnis perusahaan elektronik, seperti Sony, Panasonic, dan Sharp, terus menurun. Penyebabnya, pangsa pasar mereka direbut Samsung dari Korea Selatan. Tidak hanya tertekan dari luar, permintaan dalam negeri Jepang pun terus menurun. Populasi Jepang pun terus menurun. Populasi Jepang menyusut dan proporsi warga lanjut usia makin besar.
   Persaingan dalam mendapatkan pekerjaan di Jepang juga ketat. Biasanya pada Desember, perusahaan besar sudah memasang iklan lowongan pekerjaan. Seorang mahasiswa bisa mengirim puluhan lamaran kerja. Selain itu, mereka juga harus mendatangi belasan presentasi dan wawancara dengan 20-30 perusahaan.
   Persaingan di dunia kerja membuka peluang bisnis baru. Perusahaan Vein Carry Japan, misalnya, menawarkan kursus melamar kerja. Dengan biaya 105.000 yen (sekitar 12,5 juta), seorang kandidat m3ndapat kursus cara menulis riwayat hidup dan lamaran, cara membungkuk dan menukar kartu nama, serta tampil menarik ketika wawancara.
   "Kemampuan tampaknya tak penting, Perusahaan tampaknya ingin melatih karyawannya dari nol dan hal ini tidak berubah selama bertahun-tahun. Saya berharap kultur pencarian karyawan yang seragam ini dihentikan dan perusahaan mencari karyawan dengan cara lebih beragam," ujar Shunsaku Funaki, mahasiswa dari Universitas Kokushikan. (REUTER/JOE)

Sumber: Kompas, 26 Juni 2012, hal 10

Minggu, 24 Juni 2012

"Video Diary", Pekerja Anak Tiga Kota Bercerita

Jakarta, Kompas --- Sebanyak 41 pekerja anak beragam profesi, yakni pekerja seks komersial anak, pemulung anak, anak jalanan, pekerja pabrik anak, dan pembantu rumah tangga anak di tiga kota, yakni Jakarta, Sukabumi dan Makassar, membuat video diary atau catatan harian "Aku, Masa Depanmu Indonesia!" Video catatan harian yang sepenuhnya digarap pekerja anak berusia 7-18 tahun itu bertutur mengenai kehidupan, risiko pekerjaan, dan ancaman yang harus mereka hadapi sehari-hari.
   Produse eksekutif video diary ini, Dian Herdiany, menjelaskan, enam video hasil para pekerja berdurasi 60 menit ini merupakan proyek video partisipatif pekerja anak Indonesia. Seluruh proses pembuatan film video diary, mulai dari ide cerita, syuting, hingga editing, dilakukan para pekerja anak dengan didampingi tujuh fasilitator. Proses yang berlangsung selama 1,5 bulan, Mei-Juni, itu merupakan lokakarya bagian dari kampanye memperingati Hari Dunia Menentang Pekerja Anak, kerja sama antara Yayasan Kampung Halaman dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) melalui Proyek Pekerja Anak dan Pendidikan.
   "Metode video partisipatori ini beisa membantu mengenali pengalaman hidup mereka selama ini. Ini cara untuk memfasilitasi suara para pekerja anak agar mereka tahu mereka itu penting," kata Dian, Minggu (24/6), di Jakarta.
   Direktur ILO di Indonesia Peter van Rooij mengatakan, video partisipatori ini akan meningkatkan kesadaran para pembuat kebijakan tentang masalah pekerja anak. "Kesadaran itu akan membantu menanggulangi dan menghapus pekerja anak serta melindungi hak anak, terutama hak atas pendidikan," ujarnya.
   ILO memperkirakan, sekitar 215 juta anak di seluruh dunia menjadi pekerja anak. Adapun Badan Pusat Statistik mencatat terdapat sekitar 1,5 juta pekerja anak usia 5-17 tahun pada tahun 2012 di Indonesia. Sebagian besar dari mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang dan kerap dalam kondisi berbahaya yang menghambat tumbuh kembang mereka. Video diary ini akan diluncurkan pada Kamis, 28 Juni 2012, di Erasmus Huis, Jakarta," kata Agung Sentausa, produser eksekutif video diary. (LUK)

Sumber: Kompas 25 Juni 2012, hal 12

Selasa, 19 Juni 2012

Platini Marah atas Tuduhan Rasisme Kroasia


Antara – Sel, 19 Jun 2012 00:51 WIB
Warsawa (AFP/ANTARA) - Presiden UEFA Michel Platini, Senin mengutuk penggemar Kroasia yang melakukan pelecehan rasis terhadap pemain Italia Mario Balotelli dan mengatakan ia telah melakukan perjalanan ke negara Balkan itu tahun lalu untuk memperingatkan pihak berwenang di sana mengenai masalah ini.
"Saya tidak suka untuk Kroasia. Saya di Kroasia tahun lalu dan saya tidak suka. Mereka memiliki tim yang baik yang bermain baik tapi tidak dapat diterima ketika Anda punya seratus atau lebih perusuh di antara orang banyak," katanya kepada wartawan di Warsawa.
Federasi sepakbola Kroasia menghadapi kemungkinan hukuman setelah kelompok pemantau yang didukung UEFA telah melaporkan sedikitnya 500 penggemar Kroasia mengejek Balotelli sepanjang pertandingan Euro 2012 Grup C, Kamis lalu.
Seorang fotografer AFP yang menempati posisi di depan para fans di stadion di Poznan, Polandia barat, juga melaporkan melihat petugas yang mengambil pisang dari lapangan.
Platini mengatakan bahwa selama perjalanan ke Kroasia, otoritas sepak bola negara itu diperingatkan tentang kemungkinan penggemar rasis di Euro 2012.
"Mereka (federasi Kroasia) tahu (bahwa hal itu bisa terjadi)," tambahnya. "Segala bentuk rasisme adalah masalah. Satu kasus adalah terlalu banyak."
Kasus ini adalah yang pertama untuk rasisme di Euro 2012, yang diadakan di Polandia dan Ukraina, sementara pernyataan Platini sebelumnya bahwa badan yang mengatur sepak bola Eropa memiliki "toleransi nol" dalam masalah ini.
Komite disiplin diharapkan dapat memberikan keputusannya pada Selasa. (nm/ar)

Sumber: http://id.olahraga.yahoo.com/news/platini-marah-atas-tuduhan-rasisme-kroasia-175132633--sow.html

Jumat, 15 Juni 2012

Pendidikan Asingkan Budaya Bernalar

Dalam pembangunan repbulik ini, sejak 1970-an pendidikan kerapa dianggap kemewahan, bukan kebutuhan. Penyediaan pendidikan bermutu dinomor-duakan dibanding penguatan ekonomi. Kebijakan sperti ini berbahaya.
   Budaya pendidikan dunia memodelkan pembangunan berdasarkan intelektualitas. Karena sumber daya alam terbatas serta jagat semesta rentan terhadap gangguan, pembangunan berkelanjutan perlu berpusat pada intelektualitas. Implikasi dari model ini, masyarakat belajar serta budaya belajarnya yang tumbuh mengakar jadi penggerak utama pembangunan setiap negara.
  Suka atau tidak, pendidikan merupakan lokomotif terdepan pembangunan. Kesejahteraan bangsa serta kekokohan ekonomi bergantung mutlak pada pendidikan. Ekonomi kokoh dapat dicapai jika pendidikan kuat.
   Penerapan model ini butuh prasyarat: tujuan pendidikan negara harus dirumuskan  dengan akurat. Kecakapan yang diperkirakan dibutuhkan di masa depan harus dikenali dan dianalisis. Dari sana kemudian dibuat standar pendidikan. Oleh karena itu, pertanyaan utama dan pertama  yang mutlak dikaji pemimpin negara adalah: "Kecakapan strategis apa yang perlu dibelajarkan?"

Kecakapan abad ke-21
   Di penghujung abad ke-20, dua peneliti -Richard J. Murname (Harvard Kennedy School) dan Frank Levy (MIT)- melakukan riset bersama guna menjawab pertanyaan di atas. Murname (pakar kebijakan pendidikan) dan Leevy (pakar ekonomi urban) mengkaji kecenderungan jenis kecakapan yang kian dibutuhkan dan tidak dibutuhkan dunia kerja.
   Berdasarkan data tahun 1969-1998, mereka mengungkapkan bahwa kecakapan memecahkan masalah tak rutin dan kecakapan berkomunikasi kompleks semakin dibutuhkan. Pada saat komputer serta teknologi informasi semakin berdaya, banyak masalah rutin dapat dipecahkan oleh mesin. Sebaliknya, manusia justru semakin dibutuhkan pada pemecahan masalah tidak rutin. Kecakapan kedua yang juga semakin dibutuhkan adalah kecakapan berkomunikasi kompleks, seperti kecakapan seorang manajer dalam memotivasi staffnya.
   Hal yang paling drastis menurun kebutuhannya adalah kecakapan kognitif rutin. Kecakapan seperti menghafal serta kecakapan berpikir tingkat rendah senakin tak diperlukan.
   Berdasarkan penelitian itu, Organization for Economic Co-operation (OECD) merumuskan Programme for International Student Assessment (PISA) guna menjawab pertanyaan: "Seberapa siap pelajar di dunia di akhir masa wajib sekolahnya, yakni umur 15, untuk menguasai kecakapan abad ke-21?"
   Untuk Indonesia, hasilnyua memang buruk. Ini dapat dibaca di situs OECD.Mengapa pelajar kita begitu buruk pencapaiannya di PISA? Kita pasti sepakat anak-anak kita tidak bodoh. Lalu mengapa hasilnya buruk?
   Jawabnya sederhana. Anak-anak kita telah ditunjukkan arah belajar kecakapan yang salah. Analoginya, anak-anak kita seperti dibekali kompas yang rusak untuk berpetualang. Mereka dibuat fokus mengejar kecakapan kedaluwarsa, seperti kognitif rutin itu. Sebaliknya, anak-anaka kita sangat jarang diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad ke-21, seperti bernalar tingkat tinggi.
   Insentif bagi pelajar yang berhasil mengembangkan kecapakan modern tersebut justru nyaris tak terdengar. Bukan maksud tulisan ini mengatakan bernalar tingkat rendah tak diperlukan lagi, tapi harus ada keseimbangan antara bernalar tingkat rendah dan tingkat tinggi.
   Sampai kini sangat suylit menyakini adanya upaya serius dan sistematis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menindak lanjuti hasil PISA guna meningkatkan pencapaian dua kecakapan tadi. Rangkaian kebijakan pendidikan nasional yang dicanangkan justru kerap bertolak belakang dengan upaya penguasaan dua kecakapan itu.

Budaya belajar
   Kecemasan sebagai motivasi atau pemaksa belajar tentu sangat bertentangan dengan upaya mewujudkan masyarakat belajar yang sepatutnya senang belajar dan menghargai proses bernalar. Penggunaan kecemasan sebagai motivator belajar juga bertentangan dengan teori belajar, yang meletakkan motivasi intrinsik sebagai prinsip utama dalam proses belajar untuk memahami.
   Kesukacitaan belajar dan penghargaan pada proses bernalar adalah jiwa masyarakat belajar. Sebagai tambahan, pemanfaatan informasi di masa ini jauh lebih bernilai dibandingkan nilai informasinya sendiri. Masalah penyimpanan dan sistem informasi sudah dipecahkan oleh Google. Sungguh absurd jika pelajar kita justru difokuskan mengejar kecakapan yang sudah dapat dipecahkan mesin.
   Ironisnya, praktik pendidikan di republik ini justru berpusat pada kecakapan seperti mesin itu. Proses bernalar dengan sengaja diasingkan dari pendidikan. Dalam pembelajaran matematika, khususnya, bukannya bernalar tingkat tinggi yang dibelajarkan di kelas, melainkan justru kecakapan kedaluwarsa seperti berhitung cepat dan menghapal rumus tanpa makna.
   Alasan klise bahwa para guru kita tak mampu membelajrkan kecakapan bernalar mungkin saja ada benarnya, tetapi jika guru mampupun, mereka tidak akan membelajarkan kecakapan tingkat tinggi. Mengapa? Salah satunya karena model  sisten ujian nasional (UN) kita.
   Sistem UN yang dominan pada kecakapan menghapal informasi semata ini jadi alasan sahih mengapa para pelajar kita, juga gurunya, menghindari proses bernalar tingkat tinggi. Siswa dan guru akan bertanya: mengapa perlu memahami bagaimana membuktikan Dalil Pitagoras, jika UN tak pernah mengujinya. Yang dituntut di UN toh sekedar bagaimana memasukan angka-angka ke rumus a2 + b2 = c2.
   Akibatnya, siswa menjadi sangat lemah dalam pemahaman matematikanya serta kecakapan bernalarnya. Jika pengasingan budaya bernalar melalui UN bermutu buruk ini dilanjutkan, bangsa kita sangat mungkin akan kesulitan melibatkan diri dalam pembangunan dunia di masa depan. Dampaknya, ekonomi kita pun akan hancur.
   Untuk menyuburkan kembali budaya bernalar, perlu gerakan penyadaran bersama tentang pentingnya bernalar pada era sekarang. Perguruan tinggi di seluruh daerah dapat menciptkan forum semacam "Akademi Sabtu", tempat guru bersama akademisi menyegarkan budaya bernalar serta meningkatkan kemampuan guru membelajarkan kecakapan bernalar.
   Sebelum melanjutkan penggunaan penggunaan UN untuk kelulusan, Kemdikbud harus membenahi hal berikut. Standar isi dibenahi dengan tujuan menyiapkan pelajar menyiapkan pelajar menguasai kecakapan modern. Lembaga pendidikan guru perlu menekankan penguasaan teori belajar, bukan administrasi mengajar.
   Sistem UN Matematika perlu dirombak agar mampu mengukur kecakapan bernalar tingkat tinggi. Misalnya, dengan menambah daftar rumus yang dibutuhkan dan dilekatkan pada berkas ujian. Hal seperti ini diterapkan pada berbagai test profesional. Konsekuensinya, UN akan melibatkan tuntutan yang lebih bermakna ketimbang sekedar "tahu" atau "ingat" rumus. Yang juga sangat penting, berbagai pernyataan Kemdikbud harus mengirimkan pesan pentingnya budaya bernalar dan belajar.

Tulisan Iwan Pranoto, Guru Besar ITB
Sumber: Kompas, 16 Juni 2012, hal 7
 

Selasa, 12 Juni 2012

Obituari: Oom Liem Meninggal Dunia

Jakarta, Kompas --- Pengusaha Liem Sioe Liong (Sudono Salim) yang akrab dipanggil Oom Liem meninggal dunia di Singapura, Minggu (10/6) sekitar pukul 15.08. Senin siang ini, jenazah akan disemayamkan di Mount Vernon Funeral Parlours, 121 Aljunied Road, Singapura.
   Ketua Umum Asosiasi Pengunsaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, almarhum Oom Liem merupakan wirausaha yang berhasil dan selalu mendorong orang muda untuk maju dan berkembang.
   Almarhum tidak sungkan-sungkan memperkenalkan profesional-profesional muda kepada tokoh-tokoh berpengaruh kenalannya di zaman Orde Baru. Tokoh pengusaha sukses ini juga berhasil membangun bisnis yang tepat memanfaatkan peluang pembangunan nasional, seperti industri terigu, semen, dan perbankan.
   Sementara itu, usahawan Ciputra menyatakan, dunia usaha Indonesia kehilangan seorang usahawan besar, seorang dengan jiwa wirausaha luar biasa. Liem berangkat dari bawah, bermodal kerja keras, disiplin, dan jaringan bisnis luar biasa. Ia juga seorang usahawan yang sangat suka menolong.
   Di tempat terpisah, usahawan Indonesia yang berdomisili di Singapura, Tong Djoe, mengatakan Oom Liem adalah pebisnis ulung dengan pribadi yang sangat menyenangkan. "Ia juga cepat turun tangan kalau mendengar ada yang kesulitan ekonomi," ujar Tong Djoe dengan suara bergetar.
   Liem lahir di Hok Chia, Hokkian, China, 16 Juli 1916. Pada tahun 1935, Liem menjual makanan dan minuman untuk membantu ibunya di tanah kelahirannya. Kemudian ia ikut pamannya bermigrasi ke Indonesia dan menetap di Kudus, Jawa Tengah. Ia magang di toko pamannya yang mengelola toko minyak kacang dan hasil bumi lainnya (1938).
   Saat ia menjadi penyuplai cengkeh untuk pabrik rokok kretek, ia berkenalan dengan Kolonel Soeharto (kemudian menjadi presiden kedua RI) di Semarang (1950-an). Ia mendirikan industri tekstil di Kudus dan Bandung (1960-an) serta PT Waringin Kencana yang bergerak di bidang ekspor-impor (1968) bersama Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikadmono. Ia mendirikan sejumlah perusahaan bersama koleganya, seperti BCA, Bogasari Flour Mills, Indocement, dan Indofood Sukses Makmur. (AS/OSA/HAM)

Sumber: Kompas, 11 Juni 2012, hal 1

Obituari: Sarapan Bubur Oom Liem

Jangan pernah membayangkan kehidupan Sudono Salim atau Liem Sioe Liong yang serba wah meski pada waktu itu disebut sebagai salah satu orang terkaya di Asia. Oom Liem, begitu dia akrab disapa, suatu waktu menerima wartawan Kompas di kediamannya di Jalan Gunung Sahari pada Juli 1995. Rautnya cerah, senyumnya lebar. Ia menyambut tamunya hanya dengan mengenakan celana pendek
   Pagi itu, ia mengundang Kompas makan pagi di kediamannya. Sebelumnya, pertemuamnya dengan Oom Liem selalu di kantornya di Gedung Indocement, Jalan Jenderal Sudirman. Sempat terbayang, makan pagi seperti apa dengan orang sekaya Oom Liem. Ternyata, ia mengajak makan bubur polos, asinan sayur, telur rebus, dan ikan teri. Ia makan dengan lahap, menggunakan mangkok kecil dan sumpit hitam. Seusai dengan sarapan istimewa itu, ia minum Chinese Tea.
   Ia mengajak Kompas duduk di ruang tamunya. Di situ ada beberapa sofa kulit. Namun, tampak benar bahwa, meski semua terawat baik, sofa sudah tua. Di beberapa bagian, warnanya mulai kusam, Oom Liem dapat menangkap keheranan tamunya, lalu berkata, "Kursi itu memang sudah tua, tetapi aduh untuk apa diganti? Masih empuk."
   Ia meminta waktu sejenak untuk cukur rambut di halaman samping. Rupanya ia mempunyai tukang cukur favorit yang sudah belasan tahun mencukur rambutnya. Kursi yang digunakan kursi butut milik tukang cukur itu.
   Kesan yang segera mencuat, alangkah bersahaja pria yang selama puluhan tahun menjadi orang terkaya di Indonesia itu. Tidak ada kesan berpura-pura sederhana. Oom Liem, ya, memang seperti itulah, Kini, tokoh yang bisnisna ikut memperngaruhi perekonomian Indonesia itu telah berpulang ke Yang Maha Kuasa, Minggu di Singapura pada usia 97 tahun.
   Banyak hal yang bisa dikenang dari usahawan ini. Di balik sikapnya yang amat sederhana, tersimpan kearifan dan belas yang tinggi. Kalau berada di Jakartaq, hampir setiap hari menerima tamu yang meminta bantuannya. Ada yang minta dibantu karena belum membayar biaya rumah sakit, uang sekolah anak, kredit macet, kekurangan modal, atau tetek bengek yang tidak jelas.
   Inilah salah satu latar belakang, tentu juga karena kedekatannya dengan Presiden Soeharto, mengapa para usahawan Tionghoa di Indonesia menjadikan dia seperti "kepala suku". Apa yang disampaikan Oom Liem selalu dipatuhi para usahawan. Bahkan, kalau ada sesama usahawan "bertikai", Oom Liem cukup mengangkat telepon dan bergurau. Dan, pengusaha itu langsung berdamai.
   Suatu ketika ia mendengar masih terdapat ratusan ribu warga keturunan Tionghoa sedang kesulitan. Mereka puluhan tahun tinggal di Indonesia, tetapi tidak mempunyai cukup uang untuk mengurus proses pindah kewarganegaraan. Oom Liem mengontak beberapa sahabatnya untuk bersama-sama mengeluarkan lebih dari Rp 150 milyar untuk membantu mereka.
   Ia suka membantu siapa saja tanpa melihat latar belakang mereka. "Ada satu teman dari Jawa Tengah, aduh dia baru saja kehilangan isteri dan dua anaknya. Ia hidup sebatang kara, sekarang dirawat di rumah sakit. Tidak bisa keluar karena miskin, Kasihan, harus dibantu," ujar Oom Liem sambil menyeka air matanya.
   Dalam banyak percakapan dengan Kompas, Oom Liem kerap merasa heran mengapa banyak yang melihat ia seolah langsung menjadi pengusaha besar. Menurut Oom Liem, ia bisa tiba pada taraf tinggi karena berjuang tanpa lelah dari bawah sejak datang dari Futsing, Hokkian, China selatan, lebih dari tujuh puluhan tahun silam.
   Ia jatuh bangun dalam bisnis. Ia menaruh respek saat kawan-kawannya lebih maju. Ia bersabar saat banyak kalangan mencibir ihwal bisnisnya yang dulu beraroma dekat penguasa.
   Pasca-kerusuhan Mei 1998, Oom Liem lebih banyak menetap di Singapura. Ia tidak menyampaikan persis mengapa. Akan tetapi dengan gerak tubuh, ia seolah ingin mengatakan bahwa ia amat sedih rumahnya dibakar. Di rumah itu juga dia kembali ke Sang Pencipta. (ABUN SANDA)

Sumber: Kompas, 11 Juni 2012 hal 17

Sabtu, 09 Juni 2012

Maya Hasan, Kanjeng Mas Ayu

Maya Hasan (40) menjelma sebagai Puteri Solo, Sabtu (9/6) kemarin. Dalam balutan kebaya coklat dan kain batik sogan, seniman harpa ini menerima anugerah gelar dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Di depan namanya kini tersemat gelar Kanjeng Mas Ayu.
   "Tambahan penghargaan berarti 'beban' baik buat saya," kata Maya dengan wajah sumringah.
   "Dengan anugerah gelar ini, saya merasa semakin terdorong untuk menunjukkan keindonesiaanku pada dunia luar," kata Maya.
   Sehari sebelumnya, Maya sempat menyaksikan Tari Bedhaya Ketawang yang akan dibawakan saat jumenengan (peringatan bertakhta) Paku Buwono XIII tanggal 15 Juni mendatang. Demi menyaksikan tari ini yang hanya ditampilkan pada saat khusus saja, ia berencana kembali lagi ke Solo saat jumenengan nanti.
   Maya terkagum-kagum menyaksikan gerakan halus para penari. Belum lagi ketika mendengar musik karawitan yang mengiringi tari. Iapun berniat memasukkan unsur gamelan dalam kompisisinya di masa mendatang.
   Maya datang ke Solo bersama putera-puterinya yaitu Alexandra (19), Andrea (16), dan Austin (14). Ia mengenalkan budaya Indonesia kepada anak-anaknya.
   "Meski hidup di zaman modern, mereka tetap harus memegang nilai-nilai masyarakat Timur..." Inggih Kanjeng Mas Ayu Maya Hasan. (EKI)

Sumber: Kompas, 10 Juni 2012, hal 24

Sabtu, 02 Juni 2012

Tajuk Rencana: Soal Sengketa Tanah

Wacana tentang pentingnya reforma agraria, land reform, kembali mencuat di tengah persengketaan tanah yang bermunculan belakangan ini.
   Hanya sejak awal sudah terbayang pula, program refroam agraria akan tetap menjadi retorika jika tidak ada langkah konkret dan terukur sebagai tebosan yang diambil pemerintah. Sekalipun sudah diamanatkan undang-undang, program reforma agraria tidak pernah dilaksanakan, sekurang-kurangnya sampai sekarang.
   Jangankan melakukan reforma agraria yang diamanatkan undang-undang, sejumlah kasus sengketa tanah saja terkesan dibiarkan mengambang tanpa upaya penyelesaian cepat dan tepat. Hampir tak terelakkan, isu pertanahan pun menjadi berlapis-lapis. Tidak sedikit orang menjadi petani gurem, tanpa tanah. Banyak pula orang menjadi petani dengan penguasaan tanah terbatas, yang sama sekali tidak menjamin kesejahteraan.
   Persoalan penguasaan tanah itu menjadi semakin dramatis karena segelintir orang dapat pula menguasai ratusan. bahkan ribuan hektar lahan sebagai modal produksi. Kesenjangan penguasaan tanah di Indonesia memang luar biasa. Ketimpangan ini bukanlah pertama-tama produk dari sejarah feodalisme dan kolonialisme tetapi justru oleh politik perizinan dalam sejarah Indonesia merdeka.
   Bukannya membagi-bagi tanah kepada warga masyarakat dan petani sesuai dengan amanat undang-undang dan konstitusi, pejabat pemerintah justru menyerahkan tanah besar-besaran kepada pengusaha, tanpa memperhatikan kepentingan rakyat banyak.
   Politik perizinan yang memberikan konsesi lahan luas kepada pengusaha sejak zaman Orde Baru terus berlanjut sampai ke zaman Orde Reformasi. Dalam era otonomi sekarang ini, pejabat-pejabat daerah cenderung mengobral berbagai konsesi lahan pertambangan yang tidak hanya memicu konflik sosial, tetapi juga kehancuran ekologis.
   Praktik kekuasaan semacam itu justru semakin menjauhi perwujudan cita-cita melaksanakan reforma agraria, land reform, yang diamanatkan undang-undang dan konstitusi. Kenyataan ini semakin menimbulkan keraguan tentang keseriusan penguasa melaksanakan reforma agraria.
   Hanya tak dapat disepelekan lagi soal realitas yang menyingkapkan, semakinbanyak warga masyarakat menjerit karena tersisih dalam upaya mendapatkan tanah sebagai gantungan hidup. Lebih memprihatinkan lagi, bermunculan konflik terbuka atas persengketaan lahan di sejumlah tempat belakangan ini. Ibarat api dalam sekam, persengketaan lahan menyimpan potensi konflik yang setiap saat dapat meletup jika tidak segera dibereskan.
   Komplikasinya akan sangat rumit dalam bidang sosial keamanan dan ekonomi jika persoalan penguasaan lahan tidak segera dibereskan. Upaya penataan penguasaan lahan melalui program reforma agraria perlu segera dilaksanakan dengan mengutamakan prinsip keadilan di atas dominasi kekuatan modal dan kekuasaan politik.

Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 6

Jumat, 01 Juni 2012

Konflik Agraria: Rakyat "Pemilik" Lahan Terancam Kian Miskin

Batang, Kompas --- Rakyat, yang mengaku sebagai pemilim lahan yang bersengketa dengan perusahaan swasta atau badan usaha milik negara/daerah, terancam kian terpuruk dalam kemiskinan jika mereka kehilangan tanah itu. Karena itu, mereka akan berjuang hingga "titik darah penghabisan" untuk merebut hak atas tanah itu. Pemerintah harus memiliki agenda nyata untuk menuntaskan berbagai kasus sengketa lahan.
   Dari catatan Kompas, warga terlibat dalam konflik agraria berkepanjangan di sejumlah wilayah (Kompas, 28-29/5) karena hidup mereka bergantung pada lahan itu. Seperti warga di Jorong Simaladuang, Nagari Sungai Kemuyang, Kecamatan Luhak, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat yang sampai Selasa (29/5) masih bersengketa dengan pemegang hak guna usaha (HGU) PT Jenyta Ranch di Pengadilan Negeri Payakumbuh. Waraga, tutur Naldi Gantika dari Koalisi untuk Keadilan, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Qbar, bergantung hidupnya pada tanah ulayat yang menjadi obyek sengketa sejak tahun 1997 itu.
    Niton, alias Alim, warga dusun Gumukbago, Desa Nogosari, Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember, Jawa Timur, bekerja sebagai buruh tani. Ia kini berharap pemerintah membolehkan dirinya menanam padi di lahan HGU yang dikuasai pabrik gula Semboro PT Perkebunan Nusantara XI. Tanpa bisa menggarap lahan itu, ia dan 8 anaknya tak mungkin keluar dari jurang kemiskinan.

Lapangan kehidupan
   Ketua Organisasi Tani Jawa Jawa Tengah Wahyudi di Batang mengakui, rakyat terancam kalau sampai kehilangan lahan yang selama ini jadi gantungan hidupnya. Warga yang terutama bekerja sebagai buruh tani akan kian terpuruk dalam kemiskinan.
   Rakyat yang turun-temurun menggarap tanah hutan atau lahan yang disengketakan dianggap melanggar hukum. Di sisi lain, lahan pertanian kian sempit dan rakyat kian tak mampu membeli lahan. "Jika konflik agraria tidak juga diselesaikan, kemiskinan pasti kian meluas. Jika manusia kelaparan, tak mungkin bisa berpikir jernih. Apa saja bisa dilakukan untik mendapatkan makanan," kata Wahyudi.
   Menurut dia, pemerintah perlu segera mengidentifikasi lahan yang selama ini dikelola oleh rakyat. Bukan hanya lahan yang selama ini dikelola oleh rakyat. Bukan hanya lahan yang diterlantarkan atau lahan yang tidak bermasalah, seperti yang selama ini sudah diredistribusi. "Pemerintah selama ini seolah-olah tak mau mengurusi tanah yang masih berstatus HGU, padahal tanah ini juga bermasalah dengan masyarakat," ujar Wahyudi.
   Kebijakan pemerintah dengan redistribusi lahan di beberapa daerah selama ini sekedar untuk meredam gerakan rakyat yang menuntut hak atas tanah. Sebab, redistribusi lahan itu belum merata.
   Aktivis Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Erwin Dwi Kristianto, menambahkan, selama ini sering terjadi kriminalisasi terhadap warga yang terlibat sengketa lahan dengan perusahaan swasta dan milik negara/daerah. Warga bertahan karena akses mereka pada lahan itu sangat rendah. Redistribusi lahan saja tidak cukup untuk mengatasi konflik agraria, yang berangkat dari sengketa lahan. Pemerintah harus melakukan konsolidasi lahan.
   Ketua Pusat Studi dan Penelitian Hak Asasi Manusia Universitas Sumatera Utara Hasim Purba mengingatkan, pemerintah perlu membentuk lembaga otonom untuk menyelsaikan konflik lahan yang marak terjadi, termasuk di Sumut. Lembaga otonom ini untuk menerobos penyelesaikan sengketa lahan.
   Inisiator Tim Penyelesaian Agraria DPR, Arif Wibowo, mengatakan, Badan Pertanahan Nasional tak mungkin bekerja sedniri menyelesaikan sengketa lahan. Apalagi, penyelesaian masalah agraria bukan kasus per kasus. Ada kebijakan yang perlu diambil pemerintah sesuai Ketetapan MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. (EGI/INK/REN/MHF/JON/ITA/IRE/EKI/SIR/BIL/UTI).

Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 15.