Sabtu, 28 Juli 2012

Cecilia Susiloretno: Memperjuangkan Hak Pekerja Rumahan

Fenomena pekerja rumahan di Indonesia, khususnya Malang Raya semakin marak terjadi. Pekerja rumahan adalah buruh subkontrak yang mengerjakan order dari perusahaan dengan sistem lepas.
   Sistem kerja rumahan tersebut sangat ekonomis dan efisien bagi pengusaha. Disini pengusahan tidak perlu mengeluarkan dana untuk tunjangan hari raya (THR), Jamsostek, gaji tetap, tunjangan kesehatan, dan   tunjangan lain seperti kewajiban perusahan kepada karyawan resmi. Namun bagi pekerja, sistem rumahan dianggap tak manusiawi.
   "Kalau model kerja seperti outsourcing (alih daya) dianggap merugikan pekerja, siste, pekerja rumahan bisa dibilang lebih buruk," ujar Cecilia Susiloretno, Sekretaris Jenderal Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia atau MWPRI, Selasa (24/7), di Malang.
   "Pekerja rumahan tidak bernaung dalam lembaga tertentu. Mereka tak terikat kontrak. Hubungan kerjanya sebatas barang yang dikerjakan," ujarnya.
   Jasa pekerja rumahan biasanya dihargai sangat murah, sekitar sepersepuluh (1/10) dari harga jual produk buatannya. Semisal harga sebuah kalung manik-manik dari kayu Rp 10.000, maka di tangan pekerja rumahan itu, setiap kalung dihargai Rp 1.000.
   Contoh lain, pemetik kecambah yang biasa disetorkan ke pasar hanya memperoleh upah Rp 7000 untuk satu kilogram kecambah yang dia bersihkan.
   Kondisi itu dimungkinkan karena semua bahan baku produk yang mereka hasilkan disediakan oleh pemberi order. Pekerja rumahan "hanya" bertugas merangkainya.
   "Padahal, kalau terjadi sesuatu terhadap barang itu, misalnya rusak atau tak sesuai pesanan, biasanya yang harus menanggung pekerja rumahan. Mereka juga terpapar cat berbahaya dari bahan kimia yang dipakai dalam pembuatan produk," katanya.
   Di sini, pekerja rumahan harus menanggung sendiri akibatnya. Mereka tak punya jaminan ksesehatan atau kecelakaan kerja. "Hal-hal seperti itu nyaris tak pernah diperhatikan."

Berbagai usaha
   Berdasar penelitiannya, setidaknya 50 persen dari total pekerja informal adalah pekerja rumahan. Di Malang, sistem kerja itu dianut berbagai jenis usaha, seperti konfeksi, rokok, bordir dan sepatu. Di malang Raya misalnya, banyak bidang usaha yang beralih pada model pekerja rumahan.
   Salah satu perusahaan sepatu di Malang misalnya, menutut Cecilia dari 800-an karyawan sebelumnya, kini hanya mempekerejakan sekitar 200-an orang. Selebihnya diberikan kepada pekerja rumahan, mereka yang tak masuk catatan resmi karyawan perusahaan.
   Tergerak untuk membela hak perempuan pekerja rumahan, ia mengajak pekerja rumahannuntuk berhimpun dalam Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia tahun 1996.
   MWPRI adalah organisasi yang menjadi mitra pekerja rumahan. Mereka melakukan advokasi hukum dan pendampingan bagi pekerja rumahan. Mereka juga mencoba membangun penyadaran bagi pekerja rumahan, untuk membuka usaha mandiri.
   Keterlibatan Cecilia dengan pekerja rumahan bisa dibilang tak sengaja. Pada 1989, kala ia menjadi peneliti di LSM Yayasan Pengembangan Pedesaan (YPP), tugasnya antara lain meneliti pekerja rumahan. Dari penelitian itu, ia mendapatai fakta, sebagian besar mereka adalah perempuan. Pendapatan mereka pun minim.
   Usai penelitian itu, ia lebih intensif berhubungan dengan perempuan pekerja rumahan. Sebagai sekretaris pada LSM YPP, ia muilai mengorganisasi mereka.
   "Awalnya kami minta bantuan kepala desa untuk mengumpulkan mereka. Namun lama-lama cara itu tak efektif, karena satu per satu mulai tak datang. Mereka beralasan harus menyelesaikan order," ujar Cecilia yang pernah menjadi dosesn pada beberapa universitas di Kota Malang pada tahun 1990-an.
   Jadilah dia dan teman-teman LSM itu melakukan pendekatan personal. Mereka tinggal sebulan di desa pusat pekerja rumahan demi mendapatkan kepercayaan. "Akhirnya, mereka percaya, kami serius mau membantu," ujar Cecilia yang berhenti menjadi dosen agar fokus mengurusi perempuan pekerja rumahan.
   Sejak itu ia terus mendorong isu perempuan pekerja rumahan agar pemerintah daerah membuat peraturan perlindungan pekerja rumahan. "Namun pemerintah daerah butuh aturan untuk melangkah, jadilah kami membawa isu ini ke pemerintah pusat."

Berorganisasi
   Dalam naungan MPWRI, perempuan pekerja rumahan diajak berorganisasi, didorong membuat serikat buruh, diberi pelatihan keterampilan dana manajemen, serta koperasi.
   "Koperasi bersama dengan sistem tanggung renteng ini, penting. Melalui koperasi, pekerja rumahan yang ingin memperoleh modal usaha bisa mendapatkannya, meski tanpa agunan. Jaminannya, persetujuan dari kelompoknya," ujar Cecilia.
   Upaya pemberdayaan itu dinilai mampu mendorong pekerja rumahan yang awalnya yang awalnya hanya buruh subkontraktor, menjadi pengusaha kecil.
   Upaya Cecilia dan rekan-rekannya di MPWRI untuk memutus mata rantai sistem pekerja rumahan, tak sia-sia. Telah banyak perempuan pekerja rumahan yang bisa melepaskan diri dari perusahaan. Mereka bisa mandiri dan mampu mendirikan usaha sendiri.
   "Satu hal yang menggembirakan, perjuangan kami mengangkat masalah pekerja rumahan menjadi isu nasional itu menunjukan hasil. Kini ada draft final peraturan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan yang khusus untuk perlindungan perempuan pekerja rumahan," tutur Koordinator Homnet Asia Tenggara, orgaisasi untuk perlindungan pekerja rumahan ini.
   Jika peraturan menteri ini sudah resmi, ia berharap diteruskan ke Kementerian Perdagangan. Berikutnya, perlindungan pekerja rumahan diharapkan tak hanya berlaku pada perempuan, namun juga lelaki.
   "Setiap daerah bisa menjadikannya dasar peraturan daerah perlindungan pekerja rumahan. Semoga dengan ini, hak-hak pekerja rumahan mulai diperhatikan," katanya.

Penulis: Dahlia Irawati

Sumber: Kompas, 27 Juli 2012, hal 16

1 komentar:

  1. Salam,

    Saya sari dari bekasi, saya ingin memulai sebuah usaha rumahan namun terbentur masalah ekonomi sehingga tidak ada modal untuk membuka usaha.
    Satu2nya keahlian saya adalah menjahit, dan saya memiliki sebuah mesin jahit garment serba guna.

    Untuk saat ini saya sedang mengerjakan order jahit boneka, namun penghasilan saya dari pekerjaan ini sangat minim. 1 bulan hanya menghasilkan sekitar Rp 150.000,- dan per 1 buah boneka yang saya kerjakan hanya dihargai Rp 1.000,- saya ingin mendapat penghasilan yang lebih, namun dikarenakan order yang saya terima sangat sedikit sehingga tidak ada peningkatan pendapatan perbulannya.

    Yang ingin saya tanyakan adalah :

    1. Apa yang harus saya lakukan agar bisa membuka usaha sendiri dengan kemampuan dan mesin yang saya punya ?

    2. Adakah solusi untuk pekerja rumahan seperti saya yang ingin maju/membuka usaha sendiri ?

    3. Apakah ada cara untuk memulai usaha dengan permasalahan saya seperti diatas ?

    Karena minimnya order dan penghasilan, maka hal ini sangat menghambat saya karena saya tidak bisa mengumpulkan dana untuk memulai usaha/tidak ada modal Sedangkan bila saya ingin meminjam dana dari bank, saya tidak mempunyai jaminan.

    Mohon informasi pencerahannya terhadap permasalahan saya di atas.

    Thanks before
    Salam Sukses Selalu
    Regards,

    Sari M

    sari.bohay84@gmail.com
    dbunda.shop@gmai.com
    ==========================

    BalasHapus