Sabtu, 14 Juli 2012

Pengupahan: Kesejahteraan Buruh, Tanggung Jawab Siapa?

Ribuan buruh di bawah panji Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia berunjuk rasa ke Istana Merdeka dan sejumlah kementerian di jakarta, Kamis 12/7). Banyak warga yang bertanya-tanya, agenda apa yang diusung dalam unjuk rasa besar ketiga setelah aksi blokade Jalan Tol Jakarta-Cikampek apada 27 Januari 2012 dam unjuk rasa Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2012.
   Seperti pada unjuk rasa masif sebelumnya, aksi kali ini masih mengusung isu-isu serupa. Mereka menuntut pelarangan tenaga alih daya (outsourcing) dan penghapusan politik upah murah serta menolak wacana buruh menanggung iuran 2 persen dari total 5 persen upah dalam program jaminan kesehatan mulai Januari 2014.
   Mereka, dengan kegelisahan di dada, meninggalkan pabrik dan mendatangi kantor para pengambil kebijakan yang sedang menjalankan amanat rakyat yang memimpin negara. Kegelisahan menanti kepastian keberpihakan pemerintah membuat kebijakan yang mampu menyejahterakan buruh.
   Pemerintah Indonesia boleh membusungkan dada karena Indonesia mampu membeli obligasi IMF senilai 1 miliar doillar AS (Rp 9,4 triliun) demi membantu perekonomian global. Sementara untuk menarik investor asing, pemerintah senang mempromosikan upah murah pekerja sebagai keunggulan komparatif Indonesia di pasar global.
   Paradigma ini tampak dari penetapan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2012 bagi para pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Baru enam dari 33 provinsi yang telah mendapatkan UMP tahun 2012 lebih dari 100 persen kebutuhan hidup layak (KHL). Keenam provinsi itu adalah Sumatera Utara dengan UMPK Rp1,2 juta setara 115,94 persen KHL, Bengkulu Rp 930.000 (105,17 persen), DKI Jakarta Rp 1.529.150 (102,09 persen), DI Yogyakarta Rp 892.660 (103,51 persen), Sulawesi Utara Rp 1,25 juta (115,97 persen), dan Sulawesi Selatan Rp 1,2 juta (103,32 persen).

Keberpihakan negara
   Pemerintah boleh bangga menerima puja-puji terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Produk domestik bruto Indonesia tahun 2011 boleh Rp 7.427,1 triliun, tetapi lihat bagaimana nasib buruh kita. Dari 112,8 juta orang yang bekerja per Januari 2012, baru 42,1 juta orang yang bekerja di sektor formal dan 70,7 juta orang masih di sektor informal yang minim perlindungan sosial dengan upah yang rendah. Persoalan besar lain adalah 55,5 juta pekerja berpendidikan sekolah dasar atau lebih rendah. Pemerintah harus serius mengatasi masalah ini agar memiliki pekerja yang kompeten agar memenuhi kebutuhan pasar kerja dan memperoleh upah layak.
   Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar memang sudah menandatangani Peraturan Menakertrans nomor 13/VII/2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak sebagai revisi Peraturan Menakertrans nomo 17 Tahun 2005 yang menambah komponen sumber acuan survei KHL dari 46 butir menjadi 60 butir. Namun  keputusan itu belum menjamin buruh bisa menikmati upah layak.
   Pemerintah semestinya serius menuntaskan berbagai pekerjaan rumah, seperti penyediaan infrastruktur, pungutan liar, birokrasi lamban, kepastian hukum, dan jaminan pasokan energi, yang merupakan kendala utama pengusaha meningkatkan daya saing. Di tengah serbuan produk China yang menggerus pangsa pasar produk nasional di dalam negeri, pengusaha harus bersiasat menekan biaya demi menjaga daya saing.
   Jika masalah ini teratasi, tentu daya saing produk Indonesia meningkat sehingga pengusaha bisa membayar remunerasi buruh jauh lebih baik dari sekarang. Saat buruh hidup lebih sejahtera, mereka akan berbelanja lebih banyak sehingga pabrik akan memprodukdi lebih banyak dan negara menerima pajak lebih banyak untuk membiayai pembangunan. (Hamzirwan)

Sumber: Kompas, 14 Juli 2012, hal 17

1 komentar:

  1. Pertanyaan yang tercantum sebagai judul, yang tidak secara jelas jawabannya dalam reportase di atas, perlu ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan berikut.
    1. Jika disimpulkan sendiri, untuk "menertibkan" pengusaha alih daya, sebenarnya pemda lah yang bertanggung jawab. Lalu mengapa demonya ke pemerintah pusat?
    2. Suatu demo baru sah kalau didahului dengan negosiasi yang mengalami jalan buntu (deadlock). Reportase di atas tidak menyinggung adanya negosiasi apapun antara pemerintah-buruh-pengusaha.
    3. Demo kelihatannya sudah dipakai sebagai alat untuk berkomunikasi dengan pembuat keputusan, untuk menggantikan temu muka. Padahal dengan temu muka, tuntutan bisa dibicarakan, disalurkan ke instansi yang tepat, negosiasi. Ketika kesepakatan sudah tercapai, maka agenda waktunya di tetapkan, sehingga jelas apa yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak.
    4. Kalau demo terus-menerus dipakai sebagai alat komunikasi, maka akan terjadi antipati dari anggota masyarakat yang lain kepada gerakan buruh, yang akhirnya terjadi situasi kontraproduktif.
    5. Merupakan suatu keanehan, mengapa organisasi buruh yang mampu menggalang masa pada demo-demo seperti ini, tidak berhasil membentuk partai politik. Partai politik yang adapun hampir tidak ada yang membawakan isu perburuhan untuk menggalang pemilih ketika berlangsung pemilu atau pemilukada.
    6. Wartawan sendiri seharusnya membuka wawasan pembaca (dan buruh secara keseluruhan) dengan menjelaskan pengertian istilah alih daya atau outsourcing yang sebenarnya.

    BalasHapus