Kamis, 30 Agustus 2012

Australia: Iklan Pasar Swalayan Dianggap Rasis

Hobart, Selasa --- Salah satu jaringan pasar swalayan terbesar di Australia mendapat hujan kritik karena sebuah iklan lowongan kerja yang dianggap rasis.
   Iklan untuk mencari petugas pembersih buat sebuah pasar swalayan Coles dekat Hobart, ibu kota Tasmania, Australia, itu dipasang di situs web Gumtree, Minggu lalu.
   "Lowongan kerja tersedia bagi petugas pembersih berpengalaman dalam pembersihan pasar swalayan untuk pekerjaan malam dan atau pagi. Harus bisa bekerja tanpa supervisi, dengan batas waktu dan teliti ..." begitu bunyi sebagian iklan itu, yang diakhiri dengan "Toko tidak menginginkan orang India atau Asia. Harus bisa berbahasa Inggris".
   Larangan bagi orang India dan Aisa untuk ikut melamar itu segera meinmulkan keberangan di situs-situs jejaring sosial, dengan imbauan agar orang-orang memboikot toko itu dan mengajukan keluhan resmi.
   "Ini pasar swalayan mana sehingga saya bisa memboikotnya," kata seorang pengguna Facebook. Sedangkan yang lain mengatakan, "Ini sebuah kasus untuk Komisi Anti-diskriminasi."
   Iklan lowongan kerja itu kemudian dicabut dari situs itu.
   Jim Cooper, juru bicara jaringan pasar swalayan Coles, mengatakan, Selasa (28/8), iklan itu dipasang oleh sebuah perusahaan kontrak yang bertanggung jawab atas pekerjaan pembersihan toko jaringan pasar swalayan itu di Rosny, Tasmania.
   "Iklan itu dipasang tanpa sepengetahuan Coles dan kami sangat prihatin begitu mengetahui soal iklan itu dan isinya," kata Cooper kepada surat kabar Hobart Mercury.
   "Coles adalah perusahaan yang memberi kesempatan setara dab kami tidak pernah mengeluarkan arahan seperti yang terkandung dalam iklan ini," katanya.
   Perusahaan itu mengatakan telah menghentikan layanan alih daya itu sebagai akibat dari iklan itu. Coles juga mengatakan akan menatar ulang kontraktor kebersihannya mengenai kebijakan kesempatan kerja setara bagi setiap orang.

Tindakan hukum
   Pejabat Komisi Anti-diskriminasi Tasmania, Robin Banks, mengatakan akan melacak kontraktor itu untuk melihat kemungkinan tindakan hukum. "Adalah melanggar hukum untuk menghalangi seseorang karena ras mereka," katanya.
   Pejabat itu mengatakan, dia juga akan memeriksa apakah Coles "memenuhi kewajibanya untuk menjamin para agennya tidak terlibat dalam diskriminasi", sedangkan Gumtree mungkin telah melanggar undang-undang itu dengan mengizinkan penerbitan iklan diskriminatif.
   Berdasarkan sensus 2011, 1,4 persen penduduk Australia berasal dari India, dan 1,5 persen dari China. (BBC/CNN/DI)

Sumber: Kompas, 30 Agustus 2012, hal 8

Senin, 27 Agustus 2012

Arab Saudi: Kota Khusus Wanita

Kerajaan Arab Saudi bakal membangun kota industri khusus bagi kaum Hawa. Rencananya, kota yang steril dari para pria itu akan dibangun di wilayah Hofuf, Arab Saudi bagian timur.
   Menteri Perumahan dan Pengembangan Pedesaan Saudi Pangeran Mansyur Miteb bin Abdulaziz menyatakan kota industri itu nanti diharapkan bakal menyerap lebih dari 5.000 pekerja perempuan Saudi. Faramasi, makanan, dan tekstil adalah industri yang sudah dipersiapkan oleh pihak kerajaan.
   "Saya yakin ini akan terus berkembang," kata Mansyur. Pengembangan kota khusus wanita Hofuf dilakukan oleh Modon, lembaga penanganan kemiskinan milik Kerajaan Arab Saudi. Pihak kerajaan memperkirakan Hofuf bisa menyerap investasi hingga US$ 133 juta. Dengan begitu, kemungkinan menganggur di antara para wanita sangat kecil.
   Menurut sebuah laporan, jumlah pekerja wanita di Arab Saudi hanya 15 persen dari total tenaga kerjanya. Padahal jumlah pelajar wanita di tingkat universitas mencapai 60%. Surat kabar Al-Arabiya melaporkan sebanyak 78 persen wanita lulusan universitas di Arab Saudi terpaksa menganggur lantaran tiada lapangan kerja.
   Selama puluhan tahun Kerajaan Arab Saudi memberlakukan pemisahan gender di ruang publik.

Sumber: Tempo, 27 Agustus 2012, hal 122.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Kembali ke Jakarta

Ke Jakarta aku 'kan kembali. Walaupun apa yang 'kan terjadi ... (Koes Plus)

Seperti tahun-tahun sebelumnya, ritual mudik Lebaran selalu menyisakan permasalahan sosial kependudukan yang memusingkan kota-kota besar, seperti Jakarta. Dalam hitungan hari, ritual mudik Lebaran segera berganti dengan ritual balik yang lebih seru.
   Kaum urban kembali menyerbu kota tempat mengais rezeki setelah merayakan Lebaran di kampung halaman. Jumlah arus balik ini angkanya lebih banyak dibanding arus mudik karena fenomena berantai (chain migration).
   Migrasi berantai merupakan migrasi yang mengandalkan hubungan kekerabatan. Mereka telah berhasil melakukan migrasi lebih dahulu ke kota besar akan menanggung kehidupan pengikutnya. Bersama arus balik akan dijumpai wajah-wajah baru yang membanjiri kota. Momentun lebaran dipilih karena saudara yang mudik akan membiayai keberangkatan para urban baru ke kota impian.
   Meskipun angkanya cenderung menurun setiap tahun, jumlah pendatang baru di Jakarta seusai Lebaran masih cukup besar. Data lima tahun terakhir menyebutkan pendatang baru di Jakarta seusai Lebaran tahun 2007 adalah 109.617 orang, tahun 2008 sebanyak 88.473 orang, tahun 2009 sebanyak 69.554 orang, tahun 2010 sebanyak 60.000 orang, dan tahun 2011 mencapai 50.000 orang.
   Selagi masih menjadi pusat peredaran uang dan tempat bertumpunya kue pembangunan, selama itu pula Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia akan selalu menjadi magnet bagi kaum urban. Penduduk desa usia produktif tetap menyerbu kota-kota besar untuk menyemaikan mimpi mereka.
   Maraknya fenomena migrasi berantai menunjukkan makin tidak kompetitifnya sektor perdesaan dan sekalibus memberikan sinyal kepada kita bahwa negara kita ini tidak mampu mempertahankan konsistensinya sebagai negara agraris. Dampak salah urus pembangunan selama beberapa dekade telah menjadikan sektor pertanian dan perdesaan sebagai sektor yang identik dengan kemiskinan. Para pemuda tak tertarik lagi tinggal di pdesa karena tingkat pendapatannya sangat rendah.
   Akhirnya, fenomena gerontokrasi di daerah perdesaan tak terhindarkan lagi. Gerontokrasi adalah istilah yang merujuk pada kondisi timpang antara penduduk usia produktif dan para lanjut usia. Gerontokrasi perdesaan dan pertanian ditandai oleh dominasi kaum tua tidak produktif, anak-anaka, serta kaum wanita lanjut usia, dalam ketenagaan kerja di sektor tersebut. Menurut penelitian, lima atau sepuluh tahun ke depan sektor pertanian/perdesaan akan mengalami krisis tenaga kerja.

Responsif
   Tingginya tingkat urbanisasi merupakan tantangan berat bagi kota-kota besar. Angka kemiskinan, kriminalitas, dan pengangguran akan menjadi persoalan yang tiada berujung. Hal itu mengingat urbanisasi di negeri ini lebih bersifat urban involution. Merujuk pada Clifford Geerrtz yang mempopulerkan istilah Involusi Pertanian (Agriculture Involution), istilah urban involution ini menggambarkan pada kondisi stagnan, dan bahkan mundurnya kota akibat sektor informal mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding sektor lainnya (industri).
   Pertumbuhan pesat sektor informal di kota-kota besar telah menjadi magnet bagi tenaga kerja produktif perdesaan untuk beramai-ramai menyerbu kota dengan bekal pendidikan dan keterampilan seadanya. Kota-kota besar kemudian menjadi imagined community yang dipenuhi dengan simbol-simbol maya. Permasalahan sosial baru kemudian beranak-pinak, misalnya muncul daerah rural-urban dan kawasan kumuh.
   Ketimpangan pembangunan perkotaan dan perdesaan di negeri ini makin memperlebar jurang pemisah di antara keduanya. Langkah paling tepat untuk membendung urbanisasi ini adalah dengan membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya di daerah. Namun, langkah tersebut bukanlah langkah yang bisa segera dilakukan dalam jangka pendek dan biayanya sangat mahal. Lapangan keja kerja akan banyak tercipta jika pertumbuhan ekonomi di daerah membaik, pertumbuhan ekonomi membaik jika pembangunan daerah berjalan dengan lancar.

Investasi padat karya
   Sesuai dengan potensi terbesar bangsa ini, sudah sepantasnya negara lebih mengarahkan kegiatan investasi ke sumber daya utama, yaitu pertanian padat karya. Sektor perdesaan dan pertanian, merupakan pengguna investasi terbatas yang lebih responsif dibanding perkotaan (Lipton dan Vyas, 1981).
   Oleh karena itu "Gerakan Kembali ke Sawah" atau gerakan sejenisnya seperti yang sekarang ini dilakukan pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam bentuk gerakan "Bali Ndesa Mbangun Desa" perlu dilakukan dengan serius dan diadopsi sebagai model pembangunan nasional.
   Gerakan "Bali Ndesa Mbangun Desa" yang ditawarkan pemerintah Provinsi Jawa Tengah jika dilakukan sesuai skenario akan memiliki daya ungkit (leverage) sangat besar bagi pembanguna perdesaam.
   Untuk membangun perdesaan yang memiliki daya ungkit lebih besar perlu pendekatan aset. Kurangnya aset produktif yang dimilkiki warga miskin merupakan penyebab utama sulitnya mereka keluar dari kubangan kemiskinan. Pendekatan aset ini ditawarkan untuk menstimulasi secara maksimal warga miskin dari utilisasi aset produktif (Sherraden, 1991; de Soto, 2001).
   Kerja keras saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan sinergi kebijakan yang dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.
   Jika pamor perdesaan dan pertanian telah terangkat, kue pembangunan terbagi secara merata di semua wilayah hingga perdesaan, intensitas urbanisasi akan semakin berkurang. Lirik lagi "Ke Jakarta" ciptaan Koes Plus mungkin tak lagi nyaring terdengar dari mulut kaum urban.

Tulisan: Toto Subandriyo, Peminat Masalah Sosial-Ekonomi: Bergiat di Lembaga Nalar Terapan (LeNTera)

Sumber: Kompas, 25 Agustus 2012, hal 7.

Studi: Indonesia Berotensi Raih Keuntungan dari Urbanisasi


Jakarta (ANTARA) - Studi Bank Dunia mengatakan Indonesia berpotensi meraih keuntungan ekonomi lebih besar bila mampu mengelola urbanisasi dengan baik karena dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi regional dan menciptakan kawasan perkotaan dan metropolitan yang aktif dan semarak.

Hal itu tertuang dalam laporan kertas kerja Bank Dunia berjudul "Indonesia - The Rise of Metropolitan Regions: Towards Inclusive and Sustainable Regional Development" yang dikutip ANTARA dari laman Bank Dunia, Sabtu.

Dalam laporan kertas kerja tersebut, urbanisasi di Indonesia dalam jangka menengah ada kecenderungan meningkat dan bila dikelola dengan baik akan memberikan keuntungan meningkatkan produktivitas, membuka peluang-peluang bidang ekonomi serta dapat meningkatkan penghasilan penduduk perkotaan.

Laporan tersebut menemukan, kota-kota besar pada umumnya lebih produktif dan kompetitif secara ekonomi dibandingkan kota-kota kecil dan daerah pedesaan. Hal ini terjadi karena adanya fenomena pengelompokan yang dikenal sebagai aglomerasi (pemusatan ke dalam satu kawasan).

Dengan menggunakan metode Agglomeration Index, studi ini berhasil mengidentifikasi 44 area aglomerasi di Indonesia. Mayoritas area aglomerasi ini berada di pulau Jawa, Bali dan Sumatera.

Studi ini menunjukkan bahwa kota-kota berukuran menengah, dengan kisaran penduduk 0.5- satu juta orang memiliki kinerja ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kota-kota lain.

Untuk itu, studi ini menyarankan, strategi pembangunan perkotaan sebaiknya tidak seragam, namun disesuaikan dengan karakteristik kota atau metropolitan area.

Hasil penelitian ini juga mengisyaratkan perlunya investasi di sektor infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan pesat di kedua metropolitan terbesar (megacities) dan kota-kota ukuran menengah.

Dukungan khusus dibutuhkan di daerah metropolitan berukuran besar dengan jumlah penduduk berkisar antara 5-10 juta orang yang pertumbuhannya tidak secepat kategori kota dan metropolitan area lainnya, sementara kota-kota kecil sebaiknya berfokus pada peningkatan akses kepada pelayanan umum.

Kondisi pertanahan nasional yang kurang efisien, keterbatasan konektivitas dan akses terhadap fasilitas kredit adalah faktor-faktor yang juga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah perkotaan.(ar)


Sumber: http://id.berita.yahoo.com/studi-indonesia-berotensi-raih-keuntungan-dari-urbanisasi-140807019--finance.html

Kamis, 23 Agustus 2012

Libur Lebaran: Saat Hotel dan Mal Jadi Tempat "Pelarian"

Sam Timisela (31), warga Cibubur, Jakarta Timur, langganan setiap libur Lebaran datang selalu memboyong keluarganya "pindah" ke hotel berbintang di kawasan Jakarta Pusat.
   "Alasannya, agar lebih praktis saja karena segala fasilitasnya sudah tersedia di hotel. Hitung-hitung liburan bersama keluarga," kata Sam kepada Kompas, Rabu (22/8), di Jakarta.
   Sam lebih memilih tinggal di hotel daripada tetap di rumah dengan menyewa tenaga inval atau tenaga pengganti untuk pembantu rumah tangga (PRT) selama Lebaran. Apalagi jika harus kerepotan sendiri mengurus keperluan rumah tangga bersama isterinya. Padahal anaknya juga masih balita.
   Sebagai pengusaha muda, uang tak menjadi persoalan jika ia harus menginap di hotel selama Lebaran. Termasuk juga jika ia harus menyewa tenaga inval. "Pertimbangannya, saya belum tahu seperti apa kerja dan latar belakang tenaga inval. Buat saya, yang penting nyaman dan prkatis saja tinggal di hotel," lanjutnya.
   Nila (35) juga memiliki alasan yang sama. Ia memilih menghabiskan waktu libur Idul Fitri 1433 H dengan mengunjungi pusat perbelanjaan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
   "Pembantu rumah tangga saya orang sini, tetapi dia libur 10 hari sejak dua hari sebelum Lebaran. Jadi, di rumah repot banget. Saya dan suami akhirnya berbagi tugas mengurus anak-anak dan rumah," ujar Nila, sambil menggoyang-goyang kereta bayinya agar anak bungsunya tak rewel, Selasa (21/8) lalu.

Habiskan waktu
   Sejak hari kedua Lebaran, Nila dan keluarganya sudah dua kali mengunjungi mal. Mereka menghabiskan waktu untuk makan-makan, menemani anak-anak bermain, atau menonton bioskop. Sambil makan, warga Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, itu bersama suami mengawasi dua anaknya yang tengah bermain.
   Di mal, Nila dan suaminya bisa memilih menu apa pun tanpa perlu repot memasak di rumah. Anak-anak pun bisa leluasa bermain di arena permainan. Nila bersama keluarganya mengaku seharian jika rekreasi di mal. Datang pagi pukul 11.00, pulang setelah maghrib. Sampai di rumah mereka tinggal tidur.
   Hal serupa juga dilakukan Senny (31), warga Klender, Jakarta Timur. Ia mengajak kedua anaknya berjalan-jalan ke mal di kaasan Jakarta Selatan Karena alasan yang sama.
   "Kamis sudah masuk. Jadi repot sekali kalau harus mengurus rumah," kata Seny, yang mengaku harus berbagi pekerjaan rumah tangga dengan suami.
   Sejak ditinggal mudik pembantu rumah tangganya, Edgar Sudirman (36), yang tinggal di Puri Kedoya, Jakarta Barat, setiap harinya jalan-jalan di mal sambil emilih makanan siang atau malam, bersama isterinya, Meri Indriana (29).

Tingkat hunian naik
   Direktur Komunikasi Hotel Mulia Ronny Herlambang mengakui, tingkat hunian saat libur Lebaran di hotelnya meningkat 90 persen dari 996 kamar yang tersedia. Padahal, jika liburan akhir pekan, tingkat hunian hotelnya hanya 60 persen.
   "Memang ada sebagian tamu yang menginap setiap libur Lebaran karena pembantunya pulang kampung," kata Ronny.
   Pernyataan Ronny dibenarkan oleh Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Johnnie Sugiarto. Menurut dia, pada musim libur Lebaran ini, tingkat hunian hotyel di bebarapa tempat wisata di Indonesia secara rata-rata naik signifikan.
   "Hari-hari biasa, rata-ratanya 55 persen. Akan tetapi, kalau sekarang ini bisa mencapai 100 persen. Paling ada satu arau dua kamar saja yang kosong," ungkapnya.
   Pengunjungnya, tambah Johnnie, didominasi oleh wisatawan lokal, yang memang sengaja ingin berlibur menghabiskan waktu liburan Lebaran dengan keluarga dan sanak saudara.
   Pengunjung mal juga meningkat tajam selama lburan Lebaran. Misalnya, mal Taman Anggrek di kawasan Tomang. Peningkatan pengunjungnya sampai 20 persen daripada hari-hari biasa yang rata-rata sebanyak 40.000 pengunjung.
   "Paling ramai memang tempat makan karena rumah makan di luar rata-rata masih tutup," kata Koordinator Humas dan Komunikasi Mal Taman Anggrek Anastasia Damastuti.
   Anastasia mengatakan, banyak rumah makan yang tutup karena banyak karyawan rumah makan yang mudik ke kampung halamannya. Ini tentu menjadi peluang bagi pengelola mal untuk menjaring pengunjung melalui rumah makan yang tetap buka.
   Hal yang sama disampaikan manager on duty Mal Metropolitan Lukman. Sejak berdiri, mal yang letaknya dekat akses keluar Pintu Tol Bekasi Barat itu sebenarnya tutup selama Lebaran. Namun, karena permintaan pengunjung pada waktu itu, mal akhirnya dibuka sampai hari ini. Mal baru dibuka pukul 12.00 dan tutup lebih awal setengah jam pada malam hari.
   "Belum waktunya buka, tetaqpi pengunjung sudah menunggu di depan pintu. Mereka mengira mal buka seperti biasa. Akhirnya, ya dibuka," kata Lukman.
   Lebaran memang seperti memberikan ruang mencari rezeki. Warga Ibu Kota DKI Jakarta dan sekitarnya tak hanya menghabiskan waktu dengan berkunjung ke berbagai obyek wisata saja, tetapi juga menyerbu mal dan hotel.
   Daripada kerepotan di rumah, tentu lebih baik menghabiskan waktu di mal atau menginap di hotel meskipun harus merogoh kantong lebih dalam lagi (EKI/ILO/ENG/OTW).

Sumber : Kompas, 23 Agustus 2012, hal 11

Pendatang DKI Berkurang

LBH Jakarta: Operasi Yustisi Bentuk Diskriminasi Kependudukan

Jakarta, Kompas --- Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo optimistis urbanisasi pasca-Lebarana tahun ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu. Beberapa ahli menilai, pengendalian urbanisasi juga perlu dilakukan dengan tidak diskriminatif dan diimbangi pengendalian dari daerah penyumbang.
   Berdasarkan proyeksi Dinas Kependudukan dn Catatan Sipil DKI Jakarta, jumlah pendatang baru selama musim mudik Lebaran tahun 2012 ini, terhitung selama H-7 hingga H_7 Lebaran, diperkirakan turun sampai 6.000 jiwa.
   Tahun 2011, jumlah pendtanag baru selama mudik Lebaran mencapai sekitar 51.875 jiwa dan pada tahun 2012 ini diproyeksi akan turun menjadi sekitar 45.000 jiwa.
   "Saya melihat pemahaman warga soal kependudukan dan catatan sipil mulai merata. Sebab dari beberapa pemudik yang saya temui tahun lalu, mereka sudah paham soal aturan kependudukan dan catatan sipil di Jakarta. Ini berarti sosialisasi kependudukan di Jakarta berjalan efektif,: tutue Fauzi, Rabu (22/8).
   Pihaknya juga optimistis bahwa pembangunan di daerah asal sudah mulai dirasakan.
   "Kalau di daerah asalnya bisa mendapatkan lapangan pekerjaan dan juga bisa mendapatkan share dari proses pembangunan di daerahnya, mereka tentu akan meilih tinggal di daerahnya," ujarnya.
   Pengendalian urbanisasi penduduk di Jakarta agar berjalan efektif, menurut sosiolog Imam Prasodjo dan pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Edy Halomoan Gurning, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta perlu bekerja bersama dengan daerah penyumbang urbanisasi terbesar.
   Baik Imam dan Edy sepakat bahwa Prmprov DKI Jakarta khususnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI, wajib memiliki data komposisi daerah asal warganya, baik yang resmi maupun yang tidak. Dari data itu terlihat daerah-daerah mana yang sebenarnya bisa diajak kerja sama guna mengurangi arus urbanisasi ke Ibu Kota.
   "Jika datanya menunjukkan kawasan Slawi, Tegal, Brebes, misalnya, Pemprov DKI Jakarta bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat  memajukan potensi daerahnya. Tentu saja DKI tidak bisa bekerja sendiri, tetapi harus dibantu pemerintah pusat," kata Edy.
   Sementara itu Imam menambahkan, kawasan Jabodetabek yang kini telah berkembang menjadi satu kesatuan tetap membutuhkan kawasan penyangga. Jika dibiarkan tak terkendali, kawasan seperti Cianjur hanya sekedar menjadi lokasi hunian selain tempat wisata yang kurang berpotensi sebagai kawasan tujuan urbanisasi  baru.
   "Padahal, seperti Purwakarta di Jawa Barat itu kurang apa ada daerah industri, penghasil listrik, dua waduk, potensi wisata besar, tetapi perkembangannya tidak pesat. Coba saja ada kerja sama dengan DKI, mungkin bakal tumbuh pusat ekonomi baru," ucapnya.

OYK diskriminatif  
   Edy pun menilai, operasi yustisi kependudukan (OYK) yang digelar Pemprov DKI setiap pasca-Lebaran, laih-alih mengendalikan urbanisasi, malah menimbulkan diskriminasi penduduk.
   "Penegakan hukum agar aturan kependudukan bisa diterapkan memang harus dilakukan, tetapi harus dilakukan secara total, tidak hanya pasca-Lebaran. Sasarannya pun harus seluruh kelas ekonomi masyarakat, baik yang kaya berpendidikan, maupun yang ekonomi lemah," kata Edy.
   Untuk itu, OYK juga perlu dilakukan dengan persiapan matang. Dengan wilayah seluas Jakarta, OYK tidak akan bisa merata menyeluruh dalam waktu singkat, seperti hanya dalam beberapa pekan pasca-Lebaran.
   Pemerintah bisa memetakan wilayah dan melakukan penyisiran warga yang tidak tertib aturan kependudukan secara bergantian. Waktu yang dibutuhkan dapat satu tahun atau bahkan lebih.
   Edy juga menegaskan, merujuk Undang-Undang no  23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, warga negara Indonesia berhak berpindah tempat dan tidak boleh dilarang atau diusir di tempat baru. Namun, aturan dasar kependudukan, seperti membawa surat pindah, identitas lengkap, dan mengurus surat tinggal di tempat baru, wajib dilakukan (NEL/MDN)

Symber: Kompas, 23 Agustus 2012, hal 20

Sabtu, 11 Agustus 2012

Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta

Tanggal 12 Agustus 2012 ini kita mengenang 110 tahun Mohammad Hatta, proklamator pendiri bangsa. Hatta dikenal sebagai sosok pejuang yang satu kata dengan perbuatan, memiliki integritas tinggi, dan pemikir visioner.
   Pemikiran ekonomi Hatta melampaui zamannya, berangkat dari realitas kolonialime dan ekonomi rakyat. Sebagian besar pemikiran Hatta itu masih relevan dengan kenyataan saat ini.
   Pemikiran Hatta tak bisa dilepaskan dari sejarah pergerakan kemerdekaan dan dinamika politik internasional awal abad ke-20. Politik Etis kolonial Belanda telah melahirkan kelas intelektual terdidik, yang kemudian menjadi aktor-aktor penting pergerakan.
   Kekalahan Rusia dari Jerpang pada 1905 telah menciptakan suasana kebatinan baru, yaitu, -meminjam  bahasa Stoddard- bangsa-bangsa kulit berwarna ternyata bisa mengalahkan bangsa-bangsa kulit putih. Peristiwa itu memberi kepercayaan diri bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia bisa diakhiri.
   Karena pemikirannya, Hatta pernah ditangkap Belanda pada September 1927 dengan tuduhan "menghasut terhadap pemerintah". Protes muncul di Hindia Belanda oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Hatta dibebaskan pengadilan pada 22 Maret 1928. Pada pidato pemnbelaannya di muka pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928, Hatta menyampaikan pleidoi: Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka).
   Hatta juga menyatakan visi ekonomi Perhimpunan Indonesia, yaitu (1) memajukan koperasi pertanian dan bank-bank rakyat, (2) memajukan kerajinan nasional atas dasar koperasi, (3) penghapusan sistem pajak bumi, (4) penghapusan tanah partikelir dalam waktu dekat, dan (5) pengaturan kewajiban membayar pajak yang adil dengan membebaskan petani-petani yang memiliki tanah kurang dari setengah bahu dari pembayaran pajak.

Kritik terhadap kapitalisme
   Hatta mengkritik kapitalisme. Kapitalisme akhirnya melahirkan krisis seperti Depresi Besar 1929. Ia menulis artikel :Pengaroeh  Kolonial Kapitaal di Indonesia", "Ekonomi Ra'jat dalam Bahaja" di Daulat Ra'jat tahun 1933. Tulisan Hatta secara jernih dan tajam, membahas ekonomi rakyat, termasuk akibat kondisi malaise, atau meleset.
   Pada 1934, ia menulis buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme untuk menggambarkan dampak krisis terhadap nasib kaum buruh, tani, pedagang kecil dan perekonomian rakyat secara umum, dilengkapi tinjauan sejarah mendalam atas krisis yang terjadi sepanjang sejarah kapitalisme. Buku ini menunjukkan pembahasan ekonomi rakyat tak hanya bersifat populis, tetapi juga teoritis. Dengan kata lain, kajian ekonomi kerakyatan memiliki akar sejarah akademis cukup panjang, bukan hal baru.
   Bagi Hatta, dasar setiap perekonomian adalah bagaimana mencapai kebutuhan hidup rakyat. Jika kebutuhan hidup itu tak dapat dipenuhi, diperlukan impor. Ekspor dilakukan sebagai pembayar impor.
   Kondisi perekonomian kolonial telah menempatkan ekspor sebagai mesin penghasil uang bagi penjajah, sedangkan impor dilakukan untuk perusahaan-perusahaan besar dan keperluan orang Barat di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia hanya menjadi daerah ekonomi industri bagi Pemerintah Belanda. Keuntungan sebesar-besarnya masuk ke Belanda.
   Struktur dan sistem ekonomi yang seperti ini telah membuat Indonesia mempunyai kekayaan melimpah tetapi rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Ketimpangan ekonomi saat itu sangat tinggi.
  Hatta menyatakan bahwa kapitalisme berpijak di atas dasar perjuangan yang bertambah kuat dan yang lemah menjadi musnah. Pembagian hasil yang adil antara produsen, konsumen, dan saudagar tak pernah tercapai dalam kapitalisme. Ekonomi rakyat dapat dengan mudah dikuasai produsen karena ekonomi rakyat tak tersusun.
   Melalui sudut pandang itu, Hatta menempatkan rakyat sebagai subyek (people based) dan sebagai pusat daridari kegiatan ekonomi (people centered). Gagasan tersebut membuatnya berdiri sangat jauh dari kapitalisme yang berpijak pada faham individualisme atau yang berorientasi pada kepentingan sendiri.
   Sebagaimana tercermin pada gagasan demokrasinya yang sangat dipengaruhi corak demokrasi desa, gagasan ekonomi Hatta pun lebih dekat pada kolektivisme atau kebersamaan dan tak mengharamkan intervensi negara. Bahkan, negara ditempatkannya sebagai pemeran utama dalam usaha menyejahterakan rakyat.
   Dalam cara bagaimana gagasan ekonomi yang berpusat pada rakyat dikerjakan, Hatta sangat memperhatikan realitas konkret dari kehidupan masyarakat Indonesia. Karena tak ada sistem ekonomi yang bisa lepas dari kebudayaan, bagi Hatta, bangun usaha yang cocok dengan budaya Indonesia adalah koperasi. Ia menyebut bahwa koperasi merupakan segi ekonomi dari apa yang disebutnya sebagai "kooperasi sosial lama", yaitu gotong royong.

Tonggak sejarah
   Pemikiran ekonomi Mohammad Hatta telah menjadi tonggak penting dalam sejarah ekonomi politik di Indonesia. Pemikiran itu melembaga dalam konstitusi kita, UUD 1945, khususnya pasal-pasal tentang kesejahteraan sosial, termasuk Pasal 33.
   Hatta membuat konstitusi Indonesia bukan semata dokumen politik, melainkan juga dokumen ekonomi. Berbeda  dengan negara-negara liberal kapitalis, dimana konstitusi hanya bersifat politik saja. konstitusi Indonesia bisa disebut sebagai "Konstitusi Ekonomi".
   Pengalaman pribadi Hatta sebagai pejuang kemerdekaan dan pengalamannya menggauli berbagai pemikiran telah membentuk pemikiran ekonomi Hatta dan berpihak kepada rakyat dan berpijak pada realitas Indonesia. Penekanan pada sektor koperasi dan sektor negara adalah wujud keberpihakannya.
   Dalam pemikiran Hatta, usaha-usaha yang besar harus diselenggarakan oleh negara (BUMN), terutama terkait dengan public utilities, menguasai hajat hidup orang banyak, atau cabang-cabang ekonomi strategis. Adapun jenis-jenis usaha kecil dan sedang dikerjakan oleh koperasi, dimana koperasi diselenggarakan oleh rakyat kecil yang bermodal kecil. Namun, bukan berarti Hatta kemudian anti terhadap usaha swasta. Menurut Hatta, di antara sektor-sektor atau cabang ekonomi yang dikerjakan oleh negara dengan koperasi itu masih terdapat wilayah ekonomi yang luas yang bisa digarap swasta.
   Sekilas pemikiran ekonomi Hatta ini masih relevan menjadi pedoman mengarahkan biduk ekonomi Indonesia di tengah gelombang krisis yang selalu inheren dengan kapitalisme.

Penulis: Fadli Zon, Direktur Institute for Policy Studies; Alumnus London School of Economics, Inggris
Sumber : Kompas, 11 Agustus 2012, hal 7