Sabtu, 19 Mei 2012

Penyakit Sosial Itu Keserakahan

Oleh Aloys Budi Purnomo

   Sesuatu yang ironis terjadi di negeri ini. Kian lantang disuarakan komitmen pemberantasan korupsi, kian banyak pula korupsi yang tidak diselesaikan secara tuntas. Alih-alih memangkas nafsu serakah berkorupsi, yang terjadi justru regenerasi korupsi yang kian berjemaah.
   Kesenjangan antara huruf-huruf mati tentang perundang-undangan peraturan anti korupsi dengan semangat untuk memberantasnya tak terjembatani. Sudah begitu, sebagaimana dikiritisi Adi Andojo Soetjipto (Kompas, 24/4/2012) dan saya sepakat dengan pendapatnya, Komisi Pemberantas Korupsi alias KPK sebagai lembaga superbody untuk memberantas korupsi justru melempem: masuk angin!
   Gereget untuk memnberantas korupsi tanpa tebang pilih dan semangat menangkap koruptor kelas kakap di awal terpilihnya para pimpinan KPK tak lebih dari gertak sambal. Faktanya, hanya sedikit koruptor yang ditangani. Itupun tidak ditangani secara radikal (radix, bahasa Latin, seakar-akarnya), apalagi tuntas.

Elite yang rakus
   Bangsa ini penuh dengan ironi yang membuat rakyat kian muak terhadap elite politik dan pemerintah. Tanpa pernah mereka sadari, egoisme dan keserakahan mereka telah melahirkan penderitaan dalam diri rakyat yang dari hari ke hari menumpahkan air mata duka. Meminjam penuturan Sang Buddha Gautama, "Lebih banyak air mata duka tumpah di negeri ini dari pada samudra."
   Pangkal dari segala air mata duka rakyat di negeri ini adalah keserakahan elite politik dan penguasa, mulai dari pusat hingga daerah. Keserakahan mereka dalam rupa tindakan koruptif telah menghancurkan peradaban dan kemanusiaan di republik ini. Nafsu serakah akan kuasa dan harta telah mengamputasi hak-hak rakyat untuk hidup dalam keadilan dan kesejahteraan.
   Ironisnya, mereka yang dipilih oleh rakyat untuk mengelola bangsa ini dan menjadi penyalur suara rakyat justru terjebak dalam nafsu serakah memperjuangkan keuntungan pribadi. Akibatnya, dunia politik yang sejatinya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat tak lebih dari dunia niaga tempat mengeruk harta dan keuntungan.
   Hal itu tampak jelas dalam karut-marut problematik subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah ataupun para wakil rakyat kita tidak menggunakan akal sehat untuk menginkorporasi elemen-elemen yang rasional, baik dan sehat untuk membangun visi tentang kesejahteraan rakyat. Dalih penyelamatan APBN demi perkembangan ekonomi nasional selaliu dikedepankan. Sementara pada saat yang bersamaan, mereka sendiri tetap rakus dan serakah dalam menghambur-hamburkan uang negara untuk urusan-urusan yang bersifat privat daripada kebijakan dan kebajikan publik.
   Keserakahan dan kerakusan akan harta dan kuasa kian tampak dalam berbagai inkonsistensi keputusan publik. Rencana kenaikan harga BBM yang tertunda tak lebih dari sebuah permainan bom waktu yang ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat. Produk baru DPR berupa Undang-Undang Pemilu  pun penuh dengan ironi dan inkonsistensi. Itu semua berakar dari bawah sadar vested interest ataupun status quo kekuasaan yang tak laoin sebentuk nafsu kuasa dan keserakahan juga.

Kerakusan politik
   Dalam ironi dan inkonsistensi kebijakan dan kebajikan publik yang cenderung dilambari oleh nafsu serakah dan rakus kekuasaan itu, tercerminlah penyakit sosial politik di negara ini. Penyakit sosial itu kian kronis seiring dengan absennya tertib moral dan etika yang ambruk dalam bentuk pembohongan sistemik demi memuaskan ego serakah itu.
   Berbagai kekacauan sosial yang menyeruak di negeri ini sebetulnya merupakan dampak dari keserakahan dan kerakusan politik. Keserakahan dan kerakusan politik sebagai penyakit sosial hanya bisa disembuhkanoleh kejujuran dan kelurusan, bukan oleh pencitraan politik. Meminjam filosofi Wittgenstein (dalam Culture and Value, 1984:35), kejujuran adalah kebenaran dan kebenaran hanya dapat dikatakan oleh orang yang telah menghayatinya, bukan oleh orang yang masih hidup dalam kebohongan.
   Sayangnya, banyak elite politik dan penguasa di negeri ini yang tampaknya masih belum hidup dalam kebenaran. Kalaupun mereka tampaknya omong tentang kebenaran, tak lebih hanya untuk menutupi kebohongan dan kejahatan yang mereka lakukan terhadap rakyatnya sendiri. Itulah sebabnya, berbagai persoalan terkait dengan korupsi, kekerasan, ketidak-adilan dan kesejahteraan belum juga kunjung terselesaikan.

Aloys Budi Purnomo, Rohaniwan, tinggal di Semarang, Jawa Tengah
Sumber: Kompas, 19 Mei 2012, hal 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar