Bagi pekerja yang berkantor di Jakarta, bisa mencapai tempat kerja dalam waktu setengah jam menjadi hal yang semakin "luar biasa". Begitu meratanya kemacetan menjadikan kita terbiasa dengan satu atau dua jam (bahkan lebih) untuk sampai ke tempat kerja. Ini tentu melelahkan, baik fisik maupun semosi. Di banyak negara maju, sejak beberapa dekade yang lalu semakin banyak perusahaan yang menerapkan pengaturan waktu kerja jarak jauh ataupun waktu kerja fleksibel. Mungkinkah kita berdiam diri dan tidak memikirkan alternatif lain dalam pengaturan tempat dan waktu kerja? Mengapa masih banyak perusahaan yang ragu untuk menerapakan kerja jarak jauh ini? Pertimbangan apa yang perlu kita pikirkan dan matangkan?
Sebuah perusahaan telekomunikasi terkemuka mengupayakan percobaan bekerja dari rumah. Alasan pimpinan perusahaan adalah bahwa di kantor pun sudah banyak menggunakan intranet, sementara banyak kemudahan y6ang bisa didapat bisa kita membudayakan "work from home" ini. Seperti banyak orang yang mengatakan, "Kita sudah bisa meninggalkan kerja dengan baju seragam ataupun setelan jas, dan sebaliknya, bisa bekerja produktif dengan kaos oblong, bahkan piyama dan daster." Kemudahan laptop, iPad, kekuatan broadband dan kemajuan perangkat lunak untuk bekerja, membuat kita benar-benar merasa bahwa datang ke kantor bisa dialternatifkan dengan bekerja di rumah saja. "Toh, ke kantor mengetik-ngetik juga." Kita lihat bahwa jenis pekerjaan yang tidak menuntut tatap muka yang intensif memiliki peluang untuk bisa dilakukan secara fleksibel dan virtual, bukan? Namun, apa yang perlu dipikirkan terkait dampak dari penerapan kerja virtual ini?
Sebaliknya, sebuah perusahaan yang tampaknya sangat global selalu terdepan dalam pemilihan produk dan pembelian perangkat kerja di kantor, merasa belum bisa beranjak dari cara kerja "tradisional" yaitu absensi ketat, nametag harus terpasang, dan dresscode sesuai dengan peraturan. Derap kerja dan spirit untuk bresprestasi terasa ektika jam kerja dimulai sampai nberakhir pada sore hari. Kita memang jadi lebih mudah memantau pergerakan, biasa lebih kuta dalam komunikasi tatap muka saat ada masalah. Namun, sampai kapan kita bisa mengabaikan kebutuhan para orang tua untuk bisa lebih memperhatikanpendidkikan anak? Bagaimana dengan kebutuhan para customer service dan batriusan sales untuk menjangkau tempat pelanggan tanpa mondar-mandir menceklok mesin absen dan berdispilin waktu? Bisakah kita menjamin happiness dan engagement individu bila kebutuhan pribadi, fisik, dan emosinya sulit terpenuhi?
Kendalikan efektivitas kerja
Di sebuah perusahaan yang sudah lama menerapkan fleksibilitas kerja ini, para karyawan memang merasa lebih happy karena mereka bisa mengerkan banyak hal sambil bekerja di rumah. Seorang karyawan mengatakan bahwa dia bisa mengantar-jemput anak-anak dan bisa bekerja intensif pada sela waktu tersebut. Individu lain menceritakan tentang quality time yang didapatkan dari kebersamaan dengan balitanya, di samping penghematan energi bahan bakat, tenaga mondar-mandir dan emosi kalau menghadapi kemacetan lalu-lintas. Kita lihat bahwa ada "win-win solution," baik bagi perusahaan maupun karyawan dengan penerapan kerja virtual.
Seorang pemimpin perusahaan yang berani keluar dari perangkap gaya kerja ini mengatakan bahwa yang paling penting adalah kekuatan pengukuran kinerja yang diukur dari setiap karyawan. "Untuk melepas keseragaman dan disiplin kerja, kita perlu mempunyai kekuatan pengukuran kinerja yang tidak hanya berorientasi pada hasil akhir saja tetapi juga menjamin berjalannya "coaching", pengembangan sistem, pencanangan prioritas, dan manajemen waktu. Perubahan gaya kerja bisa dibuat 'step by step" dengan menerapkan pengukuran kerja alternatif di luar kedisiplinan dan kehadiran fisik. Baru nanti, setelah tiap karyawan terbiasa untuk mengukur kinerja gaya baru ini, perusahaan bisa beranjak ke gaya kerja yang lebih virtual.
Bahaya alinenasi
Salah satu musuh besar dari bekerja "on line" adalah komunikasi. Kita bisa berkomunikasi dengan cara "conference", menggunakan group, audiovisual, tetapi kita akui bahawa "feel" kebersamaan pasrti berkurang. Hubungan on line, tetap hanya menstransfer hal-hal yang "kering" saja, seperti data, informasi, laporan, walaupun sudah dibumbui dengan "emoticon", yang beraneka ragam dan warna. Seorang teman yang pernah mengalami suasana kerja "on line" saat ditempatkan di negara lain. mengatakan setiap hari yang dia hadapi adalah punggung teman kerja. Saat menyalakan komputer. ia akan segera memulai komunikasinya melalui sistem messenger dengan teman kerjanya di belahan bumi lain. Ia yakin bahwa teman yang memunggunginya juga melakukan hal yang sma. Ini tanda bahwa kebutuhan komunikasi sebetulnya sangat kuat dan perlu diakomodasi sehingga sistem untuk menjaga komunikasi senantiasa harus dibangun dan dievaluasi.
"Walaupun perusahaan-perusahaan besar seperti Apple dan Cisco sudah melaksanakan pelatihan salesmanship secara full on line dengan mengupayakan agar imajinasi para peserta pelatihan benar-benar ril seperti dibuatnya gerbang ruang pelatihan ketika baru memasuki situs pelatihan, menyajikan rekaman-rekaman seolah-olah kita berada di ruang auditorium, mendengarkan para pakar melakukan "webinar", bahkan disediakan pula chat room bagi para peserta sebagai ajang "networking" tetapi hampir semua ahli mengatakan "You can't replace face to face situations". Kita tidak bisa mentransfer motivasi, inspirasi seratus persen. Kita tetap harus memikirkan bahaya alienasi bila seseorang sudah meninggalkan suasana kantor.
Hidupkan kualitas tatap muka
Banjir gadget akhir-akhir ini sangat membuat kita terjebak menjadi "korban teknologi". Kita bisa kehilangan kedalaman cara pikir, kekuatan berfokus dan berkonsentrasi pada hal yang sedang ditekuni. Baru ingin berkonsentrasi, ada pesan muncul di sistem messenger kita, belum lagi bila ada anggota group mengirimkan pesan bersamaan dengan panggilan untuk berkomunikasi audiovisual dengan orang lain. "Cognitive load" yang menhujani treservoir ingatan kita yang ada batasnya, sering menyebabkan kita sering lupa dan tidak tanggap terhadap persoalan yang muncul.
Manusia adalah mahluk yang paling canggih di dunia ini. Manusia justru menjadi hebat karena kapasitas refleksi, berkreasi, berempati, berhati nurani, dan bahkan bisa menjangkau "meta-qualities" yang tidak bisa dijangkau mesin manapun. Satu-satunya sikap yang harus kita pelihara di tengah kebutuhan kerja virtual adalah dengan tetap menghargai dan menghidupkan kualitas tatap muka, yang kedalaman "rasa" tetap terjaga, sambil mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari kehidupan "on line".
Eileen Rachman & Sylvina Savitri
EXPERD, Culure Internalization Program
Kompas, 19 Mei 2012, hal 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar