Kamis, 26 April 2012

World's 'most threatened' tribe

 
A new international campaign hopes to save a group of people who have been dubbed "the most threatened tribe in the world" — the Awá tribe of Brazil — from encroaching outsiders who are gobbling up their land.
The Awá live in the Brazilian state of Maranhão on lands set aside for their hunter-gatherer lifestyle. But according to the tribal advocacy group Survival International, which is leading the new campaign, the tribe is increasingly under threat by illegal settlement and logging on their lands. One reserve set aside for the tribe, the Awá Territory, is one-third deforested, its trees stripped by illegal logging operations, some with sawmills operating only miles from Awá land.
"When the forest is destroyed, they either flee or they simply die," said Survival's field director Fiona Watson, who has worked with and interviewed many of the 360 surviving Awá who are in contact with society. On her last visit, she told LiveScience, "They were saying to me, 'We're suffering from hunger now.'" [Photos: One-of-a-Kind Places on Earth]

 
Tribal life under threat
The issue of indigenous people's land rights is an international one. Survival International estimates more than 150 million tribal people currently live in 60 countries worldwide. The most voiceless of these are uncontacted tribes, people who live without interaction with the outside world.
Uncontacted tribespeople are often romanticized as "primitive" people who aren't aware of the outside world, which is a myth, according to Survival. In fact, many are purposefully avoiding society after deadly run-ins with civilization in the past. Not only do clashes between native peoples and settlers sometimes result in violence, uncontacted people lack immunity to common diseases and can be felled by a simple flu virus. [Photos of Awá daily life]
Survival estimates that there are about 100 uncontacted Awá in addition to the 360 or so who have semi-settled in villages on their legally protected land. After first contact with the Awá in 1973, the Brazilian government has opened up the region where the tribe has long roamed. After iron ore was discovered in the area, the European Community and the World Bank even helped fund a railway and other developments in the region.
 "This acts like a magnet for settlers to pour in, and ranchers, so Awá land started to be invaded," Watson said.
Land rights battle
The Awá's right to their land was formally recognized in 2005, making mining and other activities by outsiders illegal; but satellite photos of the forest reveal that these rights are not being honored. Illegal logging has left the scar of deforestation on the land. This is especially devastating to the Awá, who depend on the forest for their survival, Watson said.
"When you talk to the Awá, it's just so clear how much the forest means to them," she said. "They just get everything from it."
That includes food — babaçu nuts and açaí berries as well as fresh meat — and medicines and supplies, such as the resin of the maçaranduba tree, which is used to make torches. [See Video of Awá Life]
As the forest vanishes, the Awá are trapped in a legal battle to save it. In 2009, a federal judge ruled that illegal settlers had to leave the Awá territories within 180 days. A legal appeal by one of the largest cattle ranchers in the region delayed the ruling. In December 2011, a second federal judge ruled that colonists and ranchers had to leave the land by December 2012. Survival fears that continued legal wrangling will delay these departures, too. If the case continues in the legal system, it could take 20 or 30 years for the Brazilian Supreme Court to decide it. By that time, it will be too late for the Awá.
"Time is not on their side," Watson said.
Violence and protection
In addition, reports from Awá tribe members and from the Brazilian Indian affairs office FUNAI suggest that this land controversy can all-too-easily turn deadly. In 1988, for example, townspeople in west Bahia, Brazil, met a lone native man who turned out to be of the Awá tribe. The man, Karapiru, had been living alone in the forest since 1975, when ranchers killed his daughter and wounded him and his son. The ranchers had taken his son, leaving Karapiru to believe him dead.
"It's a violent part of the Amazon," Watson said. "You have bows and arrows against guns."
Other tribes have also been haunted by violent clashes. In August 2011, FUNAI officials were alarmed to find evidence of a fight between drug traffickers and uncontacted native people, who went missing after the violence.
Watson and her colleagues are hoping that their new campaign will put pressure on Brazil to honor the Awá's legal right to their land and provide the funding needed to enforce the protected areas' borders.
"It's a very simple, direct message to the Minister of Justice," Watson said. "The land belongs to the Awá."
Editor's note: This article has been updated to correct the funding source of the Carajás development program. The European Community contributed funding.
You can follow LiveScience senior writer Stephanie Pappas on Twitter @sipappas. Follow LiveScience for the latest in science news and discoveries on Twitter @livescience and on Facebook.

Rabu, 25 April 2012

Keburukan Sistem Ekonomi Kapitalis

Globalisasi merupakan bungkus baru dari imperialisme dan kolonialisme.
Seluruh masyarakat dunia kini mengakui bahwa sistem ekonomi kapitalis membawa malapetaka.
   Alih-alih sistem ini diharapkan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat dunia, justru menyebabkan kesengsaraan yang sempurna.
   Maklum, sistem ekonomi ini penuh dengan sifat individualis-liberalistik.
   Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, yang kini sudah mulai menyebar ke wilayah-wilayah dunia, adalah suatu bukti yang memantapkan kita betapa sistem atau ideologi ekonomi kapitalisme semakin tidak memberi kemaslahatan dan kesejahteraan bagi umat manusia.
   Gerakan anti-Wall Street yang dikenal dengan Duduki Wall Street (Occupy Wall Street) yang semakin mendunia akhir-akhir ini yang disertai aksi unjuk rasa mereka menginspirasi gerakan serupa di berbagai negara dunia mulai dari Eropa hingga Asia adalah kenyataan buruk akibat sistem kapitalisme.
   Ini sekaligus menunjukkan bahwa paham globalisasi ekonomi sebagai suatu sistem kapitalisme telah gagal menyejahterakan masyarakat dunia dan semakin mendapat tantangan dan resistansi dari berbagai kalangan.
   Sejarah mencatat bahwa resistansi atau tantangan masyarakat dunia terhadap globalisasi pernah terjadi.
   Di Mesir misalnya, kekecewaan terhadap pembangunan atas nama globalisasi yang melanda warga muslim miskin perkotaan yang kemudian melahirkan gerakan yang berbasis keagamaan dengan label Fundalisme Islam.
   Hal serupa juga terjadi di India, resistansi kultural terhadap globalisasi telah membangkitkan kelompok Hindu Revivalis yang medesak pemerintah India untuk memboikot barang-barang buatan asing.
   Di Indonesia, dengan mudah kita menyaksikan kekecewaan atas sistem kapitalisme dengan wujudnya globalisasi ekonomi itu.
   Unjuk rasa yang diwarnai konflik, bahkan pembunuhan di Papua akibat kesewenang-wenangan perusahaan tambang emas milik AS di Indonesia, PT Freeport Indonesia, beberapa waktu yang lalu.
   Masih banyak lagi gerakan-gerakan lainnya yang pada intinya menentang globalisasi ekonomi karena dinilai sangat menyengsarakan masyarakat dunia, terutama di negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia.
   Meskipun globalisasi dikampanyekan sebagai era masa depan ekonomi yang cerah, yaitu era yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi secara global yang diyakini bisa mendatangkan kemakmuran masyarakat dunia, globalisasi sesungguhnya adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya.
   Ia juga merupakan bungkus baru dari imperialisme dan kolonialisme yang ciri utamanya adalah poenjajahan oleh negara kuat/maju terhadap negara-negara lemah/terbelakang.

Aktor utama
   Globalisasi sebagai proses sekaligus paham yang getol mengintegrasikan ekonomi nasional ke sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor-aktor utama dalam proses tersebut.
   Setidaknya da tiga aktor. Pertama, Trans National Corporation (TNCs), yaitu perusahaan multinasional dengan dukungan negara-negara yang diuntungkan oleh TNCs tersebut yang kemudian membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan World Trade Center (WTO).
   Kedua, WTO. WTO merupakan salah satu aktor dalam perundingan perdagangan dari mekanisme globalisasi yang terpenting.
   Dengan demikian, forum WTO pada hakikatnya menjadi arena perjuangan bagi perusahaan transnasional untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam penguasaan ekonomi dunia.
   Ketiga, lembaga keuangan global seperti International Fund (IMF) dan Bank Dunia. Ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan aturan-aturan seputar investasi, intellectual property right dan kebijakan-kebijakan internasional.
   Kewenangan lainnya adalah mendesak atau mempengaruhi serta memaksa negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia untuk melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global tersebut.
   Proses memperlicin jalan penginegrasian tersebut ditempuh dengan cara mengubah semua aturan kebijakan yang menghalangi ketiga aktor globalisasi tersebut.
   Aktor-aktor tersebut bertiwikrama menguras segala sumber daya yang ada di negara-negara berkembang.
   Intinya, para penganut paham ekonomi kapitalis individualis-liberalistik dalam bentuk globalisasi yang percaya bahwa pertumbuhan ekonomi bisa dicapai dengan hasil normal karena kompetisi bebas atau yang berpandangan bahwa pasar bebas adalah cara efisien dan tepat untuk mencapai kemakmuran masyarakat dunia, sekarang hanya menjadi ilusi, mitos dan bohong belaka.


Peran Pemerintah
   Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, bagi seluruh rakyatnya?
      Tentu para pemguasa yang memiliki psosisi strategis harus bersikap tegas dan berani dalam melakukan negosiasi dengan perusahaan-perusahaan asing yang dinilai merugikan rakyat itu.
   Kita ambil contoh misalnya dalam renegosiasi kontrak tambang. Pemimpin (presiden) di negerai ini perlu bersikap serius mempertimbangkan kembali sisi keadilan antara pemerintah, yang mewakili negara, dan pihak perusahaan tambang serta rakyat Indonesia.
   Pemerintah., misalnya, dalam hal ini bisa menggunakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang secara jelas membukan peluang dilakukannya perundingan ulang.
   Paling tidak, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah dalam perundingan ulang ini, antara lain luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, serta kewajiban penggunaan barang dan ajsa pertambangan dalam negeri.
   Tentu saja, pemerintah mesti meyakinkan perusahaan tambang bahwa renegosiasi ini dilakukan dengan niat baik dan bukan untuk menciptakan ketidakpastian usaha di Indonesia.
   Dalam jangka panjang renegosiasi ini diharapkan bisa menguntungkan beberapa pihak, yaitu negara sebagai pemilik umber pertambangan, perusahaan tambang sebagai pengelola dan rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negeri ini.

Sumber: Bisnis Indonesia, 9 April 2012. Penulis: Ahmad Ubaidillah

Minggu, 22 April 2012

Proletarisasi di Pedesaan Terjadi

Tanah-tanah Luas Dikuasai Perusahaan Besar
Kompas--- Karena janji pembaruan agraria tidak dipenuhi pemerintah, proses proletarisasi di pedesaan terus berlangsung. Masyarakat desa, mayoritas petani, yang tadinya memiliki tanah mulai kehilangan sumber penghasilannya karena tanah tak lagi mereka kuasai.
   Involusi pertanian, yang telah lama diramalkan, terjadi dipedesaan Indonesia.
   Hal ini dikatakan oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Idham R. Arsyad di Jakarta, Jumat (13/4).
   "Proletarisasi masyarakat pesedaan semakin tinggi. Orang yang tadinya punya tanah, terus enggak punya tanah lagi sehingga untuk makan mereka harus menjual tenaga kerjanya karena kehilangan sumber penghidupannya dari tanah," kata Idham.
   Gambaran proletarisasi pedesaan makin jamak terjadi di berbagai wilayah Indonesia. "Masyarakat pedesaan kita sudah sangat miskin. Tanah-tanah dalam skala luas dikuasai oleh perusahaan besar. Itu saja sebenarnya sudah menjadi aspek mendesak diperlukannya pembaruan agraria," kata Idham.
   Pemerintah di sisi lain, menurut Idham, justru berdalih memperjuangkan kepentingan masyarakat desa seperti petani dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) agar subsidi dialihkan kepada mereka. Padahal, lanjut dia, jika mau serius membantu kepentingan petani, pemerintah tinggal menunaikan saja program agraria seperti redistribusi tanah terlantar untuk petani.
   Dengan kondisi mulai terjadi proletarisasi masyarakat pedesaan, konflik agraria, kata Idham, bakal makin terus terjadi. "Konflik akan semakin tinggi dan pasti akan berdarah-darah," katanya.
   Dia mencontohkan, beberapa konflik agraria yang paling mutakhir dalam beberapa waktu terakhir selalu mengakibatkan korban jiwa seperti Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan. bahkan, Kamis lalu terjadi bentrokan antara warga dan karyawan perusahaan yang dipicu soal penguasaan lahan di Sei Mati, Medan Labuhan, Medan, Sumatera Utara, yang mengakibatkan satu orang meninggal.
   Ketua Asosiasi Tani dan Nelayan Nusantara (Astanu) Lukman Hakim mengakui terjadinya proses proletarisasi dan involusi pertanian di Indonesia. Menurut Lukman, tanah yang dikuasai petani sudah semakin sempit.
   "Kondisi sekarang ini tanah sudah semakin sempit, sementara kebutuhan petani semakin meningkat," kata Lukman.
   Senada dengan Idham, Astani bersama organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama mendesak agar pemerintah segera melakukan pembaruan agraria sebagai jalan keluar.
   Bentrokan dalam sengketa lahan terjadi di Kecamatan Medan Labuhan, Medan, Sumatera Utara. Masyarakat setempat bentrok dengan karyawan PT MNL yang mengklaim memiliki lahan seluas 315 hektar. Namun, dari 315 hektar itu, masyarakat juga mengklaim memiliki hak atas sebagian lahan tersebut. Demikian disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) M Taufik, di Jakarta, kemarin.
   Akibat bentrok Kamis lalu, pukul 17:30, itu, satu orang meninggal dunia dan delapan orang luka-luka. Kasus ini ditangani aparat Kepolisian Resor Labuhan.
   Menurut Idham, selain sudah menjadi amanat undang-undang serta ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, langkah pembaruan agraria seperti redistribusi lahan kepada petani bisa dengan mudah dilakukan pemerintah.
   "Redistribusi tanah milik Perhutani di Jawa, tanah-tanah perkebunan besar di luar Jawa bisa dilakukan. Selain itu, pemerintah juga bisa mulai mengeluarkan desa-desa yang berada di kawasan hutan. Itu bisa jadi agenda pembaruan agraria yang  paling mudah dan menjadi solusi dalam penyelesaian konflik." katanya.
   Daripada pemerintah harus berhadapan dengan penolakan publik dengan mengeluarkan kebijakan seperti kenaikan harga BBM, ujar Idham, lebih mudah pemerintah membantu petani merealisasikan pembaruan agraria. (BIL/FER)

Sumber: Kompas, 14/04/2012, hal 2


Sabtu, 21 April 2012

Visi HB IX Jauh Melampaui Zamannya

KOMPAS. Kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono IX jauh melebihi jamannya. Sejarah menunjukkan, HB IX mampu mengobarkan semangat revolusi melalui kebijakan-kebijakannya di Keraton Yogyakarta.
   "Revolusi sosial di Yogyakarta dimulai dari keraton. Namun revolusi ini tidak perlu mendobrak seperti di Perancis karena pintu-pintu keraton sudah terbuka," kata Gubernur DI Yogyakarta Sultan HB X pada acara peluncuran buku Sepanjang Hayat Bersama Rakyat, Sabtu (21/4), di Pendapa Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta.
   Menurut Sultan, kebijakan revolusioner HB IX mulai dilakukan di keraton dengan menyederhanakan sistem birokrasi melalui penghilangan fungsi pepatih dalem. HB IX juga berani mendobrak tradisi untuk mendorong pendidikan ketika mengizinkan penggunaan pagelaran keraton untuk perkuliahan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).
   Yang tidak bisa dilupakan, HB IX juga paling berjasa menyediakan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia mulai tanggal 4 Januari 1946 hingga 27 Desember1949. Pada saat itu, HB IX tidak hanya menyediakan tempat untuk pusat pemerintahan, tetapi juga ikut menyelenggarakan pemerintahan Republik Indonesia.
   Editor buku Sepanjang Hayat Bersama Rakyat, Julius Pour, mengungkapkan, pada peristiwa 1965, di Solo diberlakukan jam malam, sementara Yogyakarta aman tenteram. Begitu juga pada 1989, saat di Solo terjadi pembakaran, di Yogyakarta tidak ada api sedikitpun.
   Pembedah buku, Rektor UGM Pratikno, mengatakan, berkat HB IX, keraton menjadi institusi yang terbuka untuk belajar. Yogyakarta pun menjadi simbol keindonesian dan pluralisme. (ABK)

Sumber: Kompas, tanggal 23 April 2012, hal 3

Senin, 16 April 2012

Saat Ponsel Menjadi Segalanya

"Kehilangan ponsel  ibarat kehilangan belahan jiwa." Pernyataan ini boleh jadi terdengar berlebihan bagi sebagian orang. Akan tetapi, bagi sebagian orang lagi, hal ini bisa jadi merupakan ungkapan hati yang jujur.
   Orang yang merasa tidak bisa hidup tanpa ponsel biasanya akan terus berupaya agar perenti komunikasi tersebut tidak jauh dari genggaman. Kondisi ketakutan dan kepanikan akut yang melanda saat jauh dari ponsel kini diistilahkan sebagai nomophobia, alias no-mobile-phone phobia.
   Baru-baru ini, lembaga survei SecurEnvoy meneliti kecenderungan nomophobia pada 1.000 responden di Inggris. Hasilnya, cukup mencengangkan. Sebanyak 2/3 responden (66%) ternyata merasa takut untuk jauh terhadap ponselnya. Angka ini meningkat sebesar 11 % dari data empat tahun yang lalu.
   Penelitian lebih lanjut menemukan perbedaan perilaku penggunaan ponsel berdasarkan gender. Sebanyak 70% perempuan mengaku takut berada jauh dari ponsel. Sementara itu, laki-laki hanya sebanyak 61%. Asia juga ditengarai berpotensi menjadi benua yang memiliki angka nomophobia terbanyak. Hal ini bukan tanpa alasan. beberapa negara seperti India, China, Indonesia, Jepang dan Pakistan masuk dalam daftar 10 besar negara dunia dengan angka penggunaan ponsel yang tinggi.
   Menariknya, penggunaan ponsel di kalangan usia remaja mempunyai angka yang lebih tinggi dan berpotensi mengalami nomophobia. Pada tahun 2010, riset Nielsen menemukan lebih dari 70%  remaja Indonsia usia 15-19 tahun telah menggunaan ponsel. Sementara remaja usia 10-14 tahun, pengguna ponsel meningkat lima kali lipat sejak 2005 hingga mencapai sekitar 35 persen. Angka ini diduga akan terus bertambah dan berpotensi memicu nomophobia.

Kehadiran media sosial
Di Indonesia, ponsel menjadi alat yang paling populer untuk mengakses internet dengan lebih dari 43 persen dari populasi digital. Fitur ini sebagian besar digunakan untuk mengakses media sosial. Dampaknya, intensitas penggunaan ponsel pun menungkat.
   Kerap dijumpai kaum remaja terlihat asyik bermain dengan gadget pribadi dimanapun berada. Menggunakan ponsel sebagai pengusir rasa bosan saat macet, sebagai teman saat di toilet, bahkan film Republik Twitter (2012) mengistilahkannya dengan "generasi menunduk".
   Keprihatinan terhadap perilaku pengguna ponsel di Indonesia memang tidak pernah tuntas selama teknologi terus berkembang. Oleh karena itu, sebagai pengguna teknologi yang cerdas, sebaiknya Anda mampu mengontrol diri agar tingkat ketergantungan tidak semakin tinggi. [GPW]

Sumber Kompas, 16 April 2012, hal 33

Minggu, 15 April 2012

KPI cekal lagu Julia Perez

Surabaya--- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencekal beberapa lagu berdangdut yang berlirik vulgar, di antaranya dinyanyikan oleh Julia Perez alias (Jupe).
   "Setelah menganalisis lirik-lirik lagunya, kami telah mencekalnya dan tidak boleh dinyanyikan lagi," ujar Wakil Ketua KPI Bidang Pengawasan Isi Siaran Ezki Suyanto kepada wartawan di Surabaya, Minggu (1/4).
   Dua lagu Julia Perez itu berjudul Belah Duren dan Paling Suka 69. Lagu lainnya yang dicekal adalah Mobil Bergoyang yang dibawakan oleh Lia MJ, Pengen Dibolongi oleh Aan Anisa, serta Cinta Satu Malam oleh Melinda.
   Pihaknya mengaku mendapat pengaduan dari masyarakat tentang maraknya lagu-lagu dangdut berlirik vulgar. Ia mengatakan, masyarakat khawatir para penikmat musik, khususnya kalangan remaja terkontaminasi gara-gara lirik lagu tersebut. Ezki juga mengaku pencekalan ini tidak berlaku bagi artis yang menyanyikannya, namun hanya lagunya.

Sumber: Bisnis Indonesia, 02/04/2012