Globalisasi merupakan bungkus baru dari imperialisme dan kolonialisme.
Seluruh masyarakat dunia kini mengakui bahwa sistem ekonomi kapitalis membawa malapetaka.
Alih-alih sistem ini diharapkan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat dunia, justru menyebabkan kesengsaraan yang sempurna.
Maklum, sistem ekonomi ini penuh dengan sifat individualis-liberalistik.
Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, yang kini sudah mulai menyebar ke wilayah-wilayah dunia, adalah suatu bukti yang memantapkan kita betapa sistem atau ideologi ekonomi kapitalisme semakin tidak memberi kemaslahatan dan kesejahteraan bagi umat manusia.
Gerakan anti-Wall Street yang dikenal dengan Duduki Wall Street (Occupy Wall Street) yang semakin mendunia akhir-akhir ini yang disertai aksi unjuk rasa mereka menginspirasi gerakan serupa di berbagai negara dunia mulai dari Eropa hingga Asia adalah kenyataan buruk akibat sistem kapitalisme.
Ini sekaligus menunjukkan bahwa paham globalisasi ekonomi sebagai suatu sistem kapitalisme telah gagal menyejahterakan masyarakat dunia dan semakin mendapat tantangan dan resistansi dari berbagai kalangan.
Sejarah mencatat bahwa resistansi atau tantangan masyarakat dunia terhadap globalisasi pernah terjadi.
Di Mesir misalnya, kekecewaan terhadap pembangunan atas nama globalisasi yang melanda warga muslim miskin perkotaan yang kemudian melahirkan gerakan yang berbasis keagamaan dengan label Fundalisme Islam.
Hal serupa juga terjadi di India, resistansi kultural terhadap globalisasi telah membangkitkan kelompok Hindu Revivalis yang medesak pemerintah India untuk memboikot barang-barang buatan asing.
Di Indonesia, dengan mudah kita menyaksikan kekecewaan atas sistem kapitalisme dengan wujudnya globalisasi ekonomi itu.
Unjuk rasa yang diwarnai konflik, bahkan pembunuhan di Papua akibat kesewenang-wenangan perusahaan tambang emas milik AS di Indonesia, PT Freeport Indonesia, beberapa waktu yang lalu.
Masih banyak lagi gerakan-gerakan lainnya yang pada intinya menentang globalisasi ekonomi karena dinilai sangat menyengsarakan masyarakat dunia, terutama di negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia.
Meskipun globalisasi dikampanyekan sebagai era masa depan ekonomi yang cerah, yaitu era yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi secara global yang diyakini bisa mendatangkan kemakmuran masyarakat dunia, globalisasi sesungguhnya adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya.
Ia juga merupakan bungkus baru dari imperialisme dan kolonialisme yang ciri utamanya adalah poenjajahan oleh negara kuat/maju terhadap negara-negara lemah/terbelakang.
Aktor utama
Globalisasi sebagai proses sekaligus paham yang getol mengintegrasikan ekonomi nasional ke sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor-aktor utama dalam proses tersebut.
Setidaknya da tiga aktor. Pertama, Trans National Corporation (TNCs), yaitu perusahaan multinasional dengan dukungan negara-negara yang diuntungkan oleh TNCs tersebut yang kemudian membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan World Trade Center (WTO).
Kedua, WTO. WTO merupakan salah satu aktor dalam perundingan perdagangan dari mekanisme globalisasi yang terpenting.
Dengan demikian, forum WTO pada hakikatnya menjadi arena perjuangan bagi perusahaan transnasional untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam penguasaan ekonomi dunia.
Ketiga, lembaga keuangan global seperti International Fund (IMF) dan Bank Dunia. Ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan aturan-aturan seputar investasi, intellectual property right dan kebijakan-kebijakan internasional.
Kewenangan lainnya adalah mendesak atau mempengaruhi serta memaksa negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia untuk melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global tersebut.
Proses memperlicin jalan penginegrasian tersebut ditempuh dengan cara mengubah semua aturan kebijakan yang menghalangi ketiga aktor globalisasi tersebut.
Aktor-aktor tersebut bertiwikrama menguras segala sumber daya yang ada di negara-negara berkembang.
Intinya, para penganut paham ekonomi kapitalis individualis-liberalistik dalam bentuk globalisasi yang percaya bahwa pertumbuhan ekonomi bisa dicapai dengan hasil normal karena kompetisi bebas atau yang berpandangan bahwa pasar bebas adalah cara efisien dan tepat untuk mencapai kemakmuran masyarakat dunia, sekarang hanya menjadi ilusi, mitos dan bohong belaka.
Peran Pemerintah
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, bagi seluruh rakyatnya?
Tentu para pemguasa yang memiliki psosisi strategis harus bersikap tegas dan berani dalam melakukan negosiasi dengan perusahaan-perusahaan asing yang dinilai merugikan rakyat itu.
Kita ambil contoh misalnya dalam renegosiasi kontrak tambang. Pemimpin (presiden) di negerai ini perlu bersikap serius mempertimbangkan kembali sisi keadilan antara pemerintah, yang mewakili negara, dan pihak perusahaan tambang serta rakyat Indonesia.
Pemerintah., misalnya, dalam hal ini bisa menggunakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang secara jelas membukan peluang dilakukannya perundingan ulang.
Paling tidak, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah dalam perundingan ulang ini, antara lain luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, serta kewajiban penggunaan barang dan ajsa pertambangan dalam negeri.
Tentu saja, pemerintah mesti meyakinkan perusahaan tambang bahwa renegosiasi ini dilakukan dengan niat baik dan bukan untuk menciptakan ketidakpastian usaha di Indonesia.
Dalam jangka panjang renegosiasi ini diharapkan bisa menguntungkan beberapa pihak, yaitu negara sebagai pemilik umber pertambangan, perusahaan tambang sebagai pengelola dan rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negeri ini.
Sumber: Bisnis Indonesia, 9 April 2012. Penulis: Ahmad Ubaidillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar