Senin, 14 Mei 2012

Pancasila Versus Liberalisme

Oleh Kiki Syahnakri
   Pembicaraan tentang liberalisme (tepatnya kelemahan dan keruntuhan liberalisme) tambah hari tambah ramai dan meluas, terutama setelah keruntuhan ekonomi Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
   Kritik bahkan cercaan, terhadap liberalisme dan kapitalisme sebagai anak kandungnya pun kian santer dan menjagat karena dilambungkan oleh peristiwa pendudukan Wall Street, simbol kedigjayaan kapitalisme, di AS yang nota bene merupakan sarang utama liberalisme.
   Sejak Revolusi Perancis, liberalisme-kapitalisme telah menguasai dunia selama beberapa abad. Ideologi ini menjadi penguasa tunggal dunia menyusul keruntuhan komunisme pada awal 1980-an. Virus liberalisme kian perkasa dan merambah kemana-mana, termasuk Indonesia.
   Pascareformasi 1998, kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia praktis dikuasai oleh liberalisme. Liberalisme berhasil mengerdilkan dan mengalienasikan Pancasila. Roh Pancasila pun kian lama kian pupus dalam dada anak-anak bangsa, terlebih setelah pelajaran tentang Pancasila menghilang atau dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Konon, matakuliah Sosiologi pun telah dihilangkan dari kurikulum fakultas ekonomi se-Indonesia. Jelas ini merupakan upaya kaum liberal untuk tak mengaitkan liberalisme dengan masalah sosial.
   Kini tampaknya keadaan sedang berbalik arah: liberalisme sedang meredup, kapitalisme dalam proses kejatuhan, termasuk di negara sumbernya, AS. Ternyata virus liberalisme-kapitalisme telah bergerak tanpa kendali dan menggerogoti tuannya sendiri sehingga terjadi kejatuhan ekonomi global. Mengapa? Ekonom senior AS, Joseph Stiglitz, dalam buku terlarisnya, Globalization and Its Discontents, secara telak menyalahkan teori ekonomi liberal sebagai penyebabnya.

Liberalisme
   Karakteristik lineralisme adalah: kompetisi, kebebasan, mekanisme pasar, yang terkuat (baca "kepentingan" yang terkuat) sebagai pemenang, sangat mengagungkan hak individu (individualisme) sehingga voting mutlak sebagai cara pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, sistem ini memerlukan aturan main dan hukum yang lengkap dan jelas, penegakan hukum yang kuat, disiplin, serta sportivitas yang tinggi.
   Apabila syarat atau sebagian dari syarat itu tak terpenuhi, yang akan muncul adalah distorsi sosial yang kerap diwarnai anarkisme, mencederai rasa kemanusiaan, dan memakan banyak korban jiwa. Pengalaman pahit tersebut terjadi di banyak negara, terutama di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia, seperti yang sedang kita alami sekarang ini.
   Bebarapa pakar politik mengatakan bahwa penyimpangan dan kekacauan itu merupakan hal wajar dalam demokratisasi. Ada yang mengatakan diperlukan setidaknya tujuh kali pemilu untuk sampai pada tingkat kematangan berdemokrasi. Pertanyaannya, dapatkah dijamin eksistensi negara dan bangsa ini masih tyetap bertahan selama periode pematangan yang cukup panjang itu? Sulit dapat dijamin! Kebalikannya, kegagalan negara memenuhi hak dasar warga negaranya (seperti hak mendapat sandang pangan, papan yang memadai, hak mendapat pendidikan dannkesehatan dengan mudah dan murah, serta hak melaksanakan ibadah) dapat menimbulkan turbulensi sosial yang potensial bermuara pada perpecahan.

Pancasila
   Kebalikan dari liberalisme yang berbicara tentang kompetisi adalah Pancasila yang berbicara tentang kooperasi, kerjasama, jiwa, kekeluargaan, dan kolektivisme. Pengambilan keputusan dilakukan dengan mengutamakan musyawarah mufakat, mengedepankan kualitas, ide, mengapresiasi hikmah kebijaksanaan dalam musyawarah. "Rasionalitas"-lah pemenang.
   Prinsip demokrasi Pancasila adalah "keterwakilan" dengan mengedepankan egalitarianisme, bukan "keterpilihan". Semua terwakili: berbagai kelompok etnis, termasuk minoritas, seperti suku-suku di Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam; serta berbagai golongan dan kelompokprofesi harus terwakili di parlemen agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan.Maka diperlukan sistem penunjukan agar berbagai kelompok minoritas sampai masyarakat tradisional pun terwakili. Tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan langsung melalui sistem kompetisi bebas. Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia.
   Basis kulturalis bangsa Indonesia adalah kekeluargaan, kolektivisme. Karena itu, liberalisme tidak cocok diterapkan di Indonesia. Di samping itu, tingkat pendidikan dan kesejahteraan mayoritas rakyat juga masih berada di bawah sehingga seperti yang dikatakan oleh Prof Daoed Joesoef, "rakyat pemilih kita adalah rakyat yang pikirannya belum bebas untuk menentukan pendapat atau pilihan masih harus tanya kiri-kanan atau akan terbukan jalannya oleh uang."
   Sebenarnya keadaan jauh lebih buruk karena latar uang dalam menentukan pilihan politik tak hanya menghinggapi masyarakat bawah, tetapi juga sudah nerambah luas di kalangan yang maju dalam pendidikan serta mapan secara ekonomi. Maka, pemaksaan sistem liberalisme di Indonesia niscaya akan membuahkan kekacauan berkepanjangan dan dapat berujung pada disintegrasi.
   Kini, liberalisme-kapitalisme sedang limbung. Saatnya bangsa Indonesia melaksanaan perubahan, meluruskan kembali jalannya reformasi. Pemimpin MPR, presiden, dan elite politik sudah saatnya menginisiasi perubahan tanpa ragu-ragu. Kembali pada jiwa Pancasila, roh pembukaan UUD 1945. Tak hanya bicara sloganistik, menyosialisasikan Pancasila lewat ceramah tanpa perubahan sistemik.


Kiki Syahnakri, Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD).
Sumber: Kompas, 23 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar