Oleh Kiki Syahnakri
Pembicaraan tentang liberalisme
(tepatnya kelemahan dan keruntuhan liberalisme) tambah hari tambah ramai
dan meluas, terutama setelah keruntuhan ekonomi Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropa.
Kritik bahkan cercaan, terhadap
liberalisme dan kapitalisme sebagai anak kandungnya pun kian santer dan
menjagat karena dilambungkan oleh peristiwa pendudukan Wall Street,
simbol kedigjayaan kapitalisme, di AS yang nota bene merupakan sarang
utama liberalisme.
Sejak Revolusi Perancis,
liberalisme-kapitalisme telah menguasai dunia selama beberapa abad.
Ideologi ini menjadi penguasa tunggal dunia menyusul keruntuhan
komunisme pada awal 1980-an. Virus liberalisme kian perkasa dan merambah
kemana-mana, termasuk Indonesia.
Pascareformasi 1998,
kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia praktis dikuasai oleh
liberalisme. Liberalisme berhasil mengerdilkan dan mengalienasikan
Pancasila. Roh Pancasila pun kian lama kian pupus dalam dada anak-anak
bangsa, terlebih setelah pelajaran tentang Pancasila menghilang atau
dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Konon, matakuliah Sosiologi pun
telah dihilangkan dari kurikulum fakultas ekonomi se-Indonesia. Jelas
ini merupakan upaya kaum liberal untuk tak mengaitkan liberalisme dengan
masalah sosial.
Kini tampaknya keadaan sedang berbalik arah:
liberalisme sedang meredup, kapitalisme dalam proses kejatuhan, termasuk
di negara sumbernya, AS. Ternyata virus liberalisme-kapitalisme telah
bergerak tanpa kendali dan menggerogoti tuannya sendiri sehingga terjadi
kejatuhan ekonomi global. Mengapa? Ekonom senior AS, Joseph Stiglitz,
dalam buku terlarisnya, Globalization and Its Discontents, secara telak menyalahkan teori ekonomi liberal sebagai penyebabnya.
Liberalisme
Karakteristik lineralisme adalah: kompetisi, kebebasan, mekanisme
pasar, yang terkuat (baca "kepentingan" yang terkuat) sebagai pemenang,
sangat mengagungkan hak individu (individualisme) sehingga voting mutlak
sebagai cara pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, sistem ini
memerlukan aturan main dan hukum yang lengkap dan jelas, penegakan hukum
yang kuat, disiplin, serta sportivitas yang tinggi.
Apabila
syarat atau sebagian dari syarat itu tak terpenuhi, yang akan muncul
adalah distorsi sosial yang kerap diwarnai anarkisme, mencederai rasa
kemanusiaan, dan memakan banyak korban jiwa. Pengalaman pahit tersebut
terjadi di banyak negara, terutama di Afrika dan Asia, termasuk
Indonesia, seperti yang sedang kita alami sekarang ini.
Bebarapa pakar politik mengatakan bahwa penyimpangan dan kekacauan itu
merupakan hal wajar dalam demokratisasi. Ada yang mengatakan diperlukan
setidaknya tujuh kali pemilu untuk sampai pada tingkat kematangan
berdemokrasi. Pertanyaannya, dapatkah dijamin eksistensi negara dan
bangsa ini masih tyetap bertahan selama periode pematangan yang cukup
panjang itu? Sulit dapat dijamin! Kebalikannya, kegagalan negara
memenuhi hak dasar warga negaranya (seperti hak mendapat sandang pangan,
papan yang memadai, hak mendapat pendidikan dannkesehatan dengan mudah
dan murah, serta hak melaksanakan ibadah) dapat menimbulkan turbulensi
sosial yang potensial bermuara pada perpecahan.
Pancasila
Kebalikan dari liberalisme yang berbicara tentang kompetisi adalah
Pancasila yang berbicara tentang kooperasi, kerjasama, jiwa,
kekeluargaan, dan kolektivisme. Pengambilan keputusan dilakukan dengan
mengutamakan musyawarah mufakat, mengedepankan kualitas, ide,
mengapresiasi hikmah kebijaksanaan dalam musyawarah. "Rasionalitas"-lah
pemenang.
Prinsip demokrasi Pancasila adalah "keterwakilan" dengan mengedepankan
egalitarianisme, bukan "keterpilihan". Semua terwakili: berbagai
kelompok etnis, termasuk minoritas, seperti suku-suku di Papua, Dayak,
Badui, Anak Dalam; serta berbagai golongan dan kelompokprofesi harus
terwakili di parlemen agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan.Maka
diperlukan sistem penunjukan agar berbagai kelompok minoritas sampai
masyarakat tradisional pun terwakili. Tidak mungkin mereka terwakili
dengan cara pemilihan langsung melalui sistem kompetisi bebas.
Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba
majemuk seperti Indonesia.
Basis kulturalis bangsa Indonesia
adalah kekeluargaan, kolektivisme. Karena itu, liberalisme tidak cocok
diterapkan di Indonesia. Di samping itu, tingkat pendidikan dan
kesejahteraan mayoritas rakyat juga masih berada di bawah sehingga
seperti yang dikatakan oleh Prof Daoed Joesoef, "rakyat pemilih kita
adalah rakyat yang pikirannya belum bebas untuk menentukan pendapat atau
pilihan masih harus tanya kiri-kanan atau akan terbukan jalannya oleh
uang."
Sebenarnya keadaan jauh lebih buruk karena latar uang
dalam menentukan pilihan politik tak hanya menghinggapi masyarakat
bawah, tetapi juga sudah nerambah luas di kalangan yang maju dalam
pendidikan serta mapan secara ekonomi. Maka, pemaksaan sistem
liberalisme di Indonesia niscaya akan membuahkan kekacauan
berkepanjangan dan dapat berujung pada disintegrasi.
Kini,
liberalisme-kapitalisme sedang limbung. Saatnya bangsa Indonesia
melaksanaan perubahan, meluruskan kembali jalannya reformasi. Pemimpin
MPR, presiden, dan elite politik sudah saatnya menginisiasi perubahan
tanpa ragu-ragu. Kembali pada jiwa Pancasila, roh pembukaan UUD 1945.
Tak hanya bicara sloganistik, menyosialisasikan Pancasila lewat ceramah
tanpa perubahan sistemik.
Kiki Syahnakri, Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD).
Sumber: Kompas, 23 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar