Jumat, 15 Juni 2012

Pendidikan Asingkan Budaya Bernalar

Dalam pembangunan repbulik ini, sejak 1970-an pendidikan kerapa dianggap kemewahan, bukan kebutuhan. Penyediaan pendidikan bermutu dinomor-duakan dibanding penguatan ekonomi. Kebijakan sperti ini berbahaya.
   Budaya pendidikan dunia memodelkan pembangunan berdasarkan intelektualitas. Karena sumber daya alam terbatas serta jagat semesta rentan terhadap gangguan, pembangunan berkelanjutan perlu berpusat pada intelektualitas. Implikasi dari model ini, masyarakat belajar serta budaya belajarnya yang tumbuh mengakar jadi penggerak utama pembangunan setiap negara.
  Suka atau tidak, pendidikan merupakan lokomotif terdepan pembangunan. Kesejahteraan bangsa serta kekokohan ekonomi bergantung mutlak pada pendidikan. Ekonomi kokoh dapat dicapai jika pendidikan kuat.
   Penerapan model ini butuh prasyarat: tujuan pendidikan negara harus dirumuskan  dengan akurat. Kecakapan yang diperkirakan dibutuhkan di masa depan harus dikenali dan dianalisis. Dari sana kemudian dibuat standar pendidikan. Oleh karena itu, pertanyaan utama dan pertama  yang mutlak dikaji pemimpin negara adalah: "Kecakapan strategis apa yang perlu dibelajarkan?"

Kecakapan abad ke-21
   Di penghujung abad ke-20, dua peneliti -Richard J. Murname (Harvard Kennedy School) dan Frank Levy (MIT)- melakukan riset bersama guna menjawab pertanyaan di atas. Murname (pakar kebijakan pendidikan) dan Leevy (pakar ekonomi urban) mengkaji kecenderungan jenis kecakapan yang kian dibutuhkan dan tidak dibutuhkan dunia kerja.
   Berdasarkan data tahun 1969-1998, mereka mengungkapkan bahwa kecakapan memecahkan masalah tak rutin dan kecakapan berkomunikasi kompleks semakin dibutuhkan. Pada saat komputer serta teknologi informasi semakin berdaya, banyak masalah rutin dapat dipecahkan oleh mesin. Sebaliknya, manusia justru semakin dibutuhkan pada pemecahan masalah tidak rutin. Kecakapan kedua yang juga semakin dibutuhkan adalah kecakapan berkomunikasi kompleks, seperti kecakapan seorang manajer dalam memotivasi staffnya.
   Hal yang paling drastis menurun kebutuhannya adalah kecakapan kognitif rutin. Kecakapan seperti menghafal serta kecakapan berpikir tingkat rendah senakin tak diperlukan.
   Berdasarkan penelitian itu, Organization for Economic Co-operation (OECD) merumuskan Programme for International Student Assessment (PISA) guna menjawab pertanyaan: "Seberapa siap pelajar di dunia di akhir masa wajib sekolahnya, yakni umur 15, untuk menguasai kecakapan abad ke-21?"
   Untuk Indonesia, hasilnyua memang buruk. Ini dapat dibaca di situs OECD.Mengapa pelajar kita begitu buruk pencapaiannya di PISA? Kita pasti sepakat anak-anak kita tidak bodoh. Lalu mengapa hasilnya buruk?
   Jawabnya sederhana. Anak-anak kita telah ditunjukkan arah belajar kecakapan yang salah. Analoginya, anak-anak kita seperti dibekali kompas yang rusak untuk berpetualang. Mereka dibuat fokus mengejar kecakapan kedaluwarsa, seperti kognitif rutin itu. Sebaliknya, anak-anaka kita sangat jarang diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad ke-21, seperti bernalar tingkat tinggi.
   Insentif bagi pelajar yang berhasil mengembangkan kecapakan modern tersebut justru nyaris tak terdengar. Bukan maksud tulisan ini mengatakan bernalar tingkat rendah tak diperlukan lagi, tapi harus ada keseimbangan antara bernalar tingkat rendah dan tingkat tinggi.
   Sampai kini sangat suylit menyakini adanya upaya serius dan sistematis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menindak lanjuti hasil PISA guna meningkatkan pencapaian dua kecakapan tadi. Rangkaian kebijakan pendidikan nasional yang dicanangkan justru kerap bertolak belakang dengan upaya penguasaan dua kecakapan itu.

Budaya belajar
   Kecemasan sebagai motivasi atau pemaksa belajar tentu sangat bertentangan dengan upaya mewujudkan masyarakat belajar yang sepatutnya senang belajar dan menghargai proses bernalar. Penggunaan kecemasan sebagai motivator belajar juga bertentangan dengan teori belajar, yang meletakkan motivasi intrinsik sebagai prinsip utama dalam proses belajar untuk memahami.
   Kesukacitaan belajar dan penghargaan pada proses bernalar adalah jiwa masyarakat belajar. Sebagai tambahan, pemanfaatan informasi di masa ini jauh lebih bernilai dibandingkan nilai informasinya sendiri. Masalah penyimpanan dan sistem informasi sudah dipecahkan oleh Google. Sungguh absurd jika pelajar kita justru difokuskan mengejar kecakapan yang sudah dapat dipecahkan mesin.
   Ironisnya, praktik pendidikan di republik ini justru berpusat pada kecakapan seperti mesin itu. Proses bernalar dengan sengaja diasingkan dari pendidikan. Dalam pembelajaran matematika, khususnya, bukannya bernalar tingkat tinggi yang dibelajarkan di kelas, melainkan justru kecakapan kedaluwarsa seperti berhitung cepat dan menghapal rumus tanpa makna.
   Alasan klise bahwa para guru kita tak mampu membelajrkan kecakapan bernalar mungkin saja ada benarnya, tetapi jika guru mampupun, mereka tidak akan membelajarkan kecakapan tingkat tinggi. Mengapa? Salah satunya karena model  sisten ujian nasional (UN) kita.
   Sistem UN yang dominan pada kecakapan menghapal informasi semata ini jadi alasan sahih mengapa para pelajar kita, juga gurunya, menghindari proses bernalar tingkat tinggi. Siswa dan guru akan bertanya: mengapa perlu memahami bagaimana membuktikan Dalil Pitagoras, jika UN tak pernah mengujinya. Yang dituntut di UN toh sekedar bagaimana memasukan angka-angka ke rumus a2 + b2 = c2.
   Akibatnya, siswa menjadi sangat lemah dalam pemahaman matematikanya serta kecakapan bernalarnya. Jika pengasingan budaya bernalar melalui UN bermutu buruk ini dilanjutkan, bangsa kita sangat mungkin akan kesulitan melibatkan diri dalam pembangunan dunia di masa depan. Dampaknya, ekonomi kita pun akan hancur.
   Untuk menyuburkan kembali budaya bernalar, perlu gerakan penyadaran bersama tentang pentingnya bernalar pada era sekarang. Perguruan tinggi di seluruh daerah dapat menciptkan forum semacam "Akademi Sabtu", tempat guru bersama akademisi menyegarkan budaya bernalar serta meningkatkan kemampuan guru membelajarkan kecakapan bernalar.
   Sebelum melanjutkan penggunaan penggunaan UN untuk kelulusan, Kemdikbud harus membenahi hal berikut. Standar isi dibenahi dengan tujuan menyiapkan pelajar menyiapkan pelajar menguasai kecakapan modern. Lembaga pendidikan guru perlu menekankan penguasaan teori belajar, bukan administrasi mengajar.
   Sistem UN Matematika perlu dirombak agar mampu mengukur kecakapan bernalar tingkat tinggi. Misalnya, dengan menambah daftar rumus yang dibutuhkan dan dilekatkan pada berkas ujian. Hal seperti ini diterapkan pada berbagai test profesional. Konsekuensinya, UN akan melibatkan tuntutan yang lebih bermakna ketimbang sekedar "tahu" atau "ingat" rumus. Yang juga sangat penting, berbagai pernyataan Kemdikbud harus mengirimkan pesan pentingnya budaya bernalar dan belajar.

Tulisan Iwan Pranoto, Guru Besar ITB
Sumber: Kompas, 16 Juni 2012, hal 7
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar