Selasa, 12 Juni 2012

Obituari: Sarapan Bubur Oom Liem

Jangan pernah membayangkan kehidupan Sudono Salim atau Liem Sioe Liong yang serba wah meski pada waktu itu disebut sebagai salah satu orang terkaya di Asia. Oom Liem, begitu dia akrab disapa, suatu waktu menerima wartawan Kompas di kediamannya di Jalan Gunung Sahari pada Juli 1995. Rautnya cerah, senyumnya lebar. Ia menyambut tamunya hanya dengan mengenakan celana pendek
   Pagi itu, ia mengundang Kompas makan pagi di kediamannya. Sebelumnya, pertemuamnya dengan Oom Liem selalu di kantornya di Gedung Indocement, Jalan Jenderal Sudirman. Sempat terbayang, makan pagi seperti apa dengan orang sekaya Oom Liem. Ternyata, ia mengajak makan bubur polos, asinan sayur, telur rebus, dan ikan teri. Ia makan dengan lahap, menggunakan mangkok kecil dan sumpit hitam. Seusai dengan sarapan istimewa itu, ia minum Chinese Tea.
   Ia mengajak Kompas duduk di ruang tamunya. Di situ ada beberapa sofa kulit. Namun, tampak benar bahwa, meski semua terawat baik, sofa sudah tua. Di beberapa bagian, warnanya mulai kusam, Oom Liem dapat menangkap keheranan tamunya, lalu berkata, "Kursi itu memang sudah tua, tetapi aduh untuk apa diganti? Masih empuk."
   Ia meminta waktu sejenak untuk cukur rambut di halaman samping. Rupanya ia mempunyai tukang cukur favorit yang sudah belasan tahun mencukur rambutnya. Kursi yang digunakan kursi butut milik tukang cukur itu.
   Kesan yang segera mencuat, alangkah bersahaja pria yang selama puluhan tahun menjadi orang terkaya di Indonesia itu. Tidak ada kesan berpura-pura sederhana. Oom Liem, ya, memang seperti itulah, Kini, tokoh yang bisnisna ikut memperngaruhi perekonomian Indonesia itu telah berpulang ke Yang Maha Kuasa, Minggu di Singapura pada usia 97 tahun.
   Banyak hal yang bisa dikenang dari usahawan ini. Di balik sikapnya yang amat sederhana, tersimpan kearifan dan belas yang tinggi. Kalau berada di Jakartaq, hampir setiap hari menerima tamu yang meminta bantuannya. Ada yang minta dibantu karena belum membayar biaya rumah sakit, uang sekolah anak, kredit macet, kekurangan modal, atau tetek bengek yang tidak jelas.
   Inilah salah satu latar belakang, tentu juga karena kedekatannya dengan Presiden Soeharto, mengapa para usahawan Tionghoa di Indonesia menjadikan dia seperti "kepala suku". Apa yang disampaikan Oom Liem selalu dipatuhi para usahawan. Bahkan, kalau ada sesama usahawan "bertikai", Oom Liem cukup mengangkat telepon dan bergurau. Dan, pengusaha itu langsung berdamai.
   Suatu ketika ia mendengar masih terdapat ratusan ribu warga keturunan Tionghoa sedang kesulitan. Mereka puluhan tahun tinggal di Indonesia, tetapi tidak mempunyai cukup uang untuk mengurus proses pindah kewarganegaraan. Oom Liem mengontak beberapa sahabatnya untuk bersama-sama mengeluarkan lebih dari Rp 150 milyar untuk membantu mereka.
   Ia suka membantu siapa saja tanpa melihat latar belakang mereka. "Ada satu teman dari Jawa Tengah, aduh dia baru saja kehilangan isteri dan dua anaknya. Ia hidup sebatang kara, sekarang dirawat di rumah sakit. Tidak bisa keluar karena miskin, Kasihan, harus dibantu," ujar Oom Liem sambil menyeka air matanya.
   Dalam banyak percakapan dengan Kompas, Oom Liem kerap merasa heran mengapa banyak yang melihat ia seolah langsung menjadi pengusaha besar. Menurut Oom Liem, ia bisa tiba pada taraf tinggi karena berjuang tanpa lelah dari bawah sejak datang dari Futsing, Hokkian, China selatan, lebih dari tujuh puluhan tahun silam.
   Ia jatuh bangun dalam bisnis. Ia menaruh respek saat kawan-kawannya lebih maju. Ia bersabar saat banyak kalangan mencibir ihwal bisnisnya yang dulu beraroma dekat penguasa.
   Pasca-kerusuhan Mei 1998, Oom Liem lebih banyak menetap di Singapura. Ia tidak menyampaikan persis mengapa. Akan tetapi dengan gerak tubuh, ia seolah ingin mengatakan bahwa ia amat sedih rumahnya dibakar. Di rumah itu juga dia kembali ke Sang Pencipta. (ABUN SANDA)

Sumber: Kompas, 11 Juni 2012 hal 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar