KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Buruh pemetik teh, Anah (kiri), Asri dan Lilis (kanan), di rumahnya di Desa Cikoneng, Tugu Utara, Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/3). Terpencilnya letak desa dan terbatasnya kondisi ekonomi membuat sebagian besar anak di desa ini hanya tamat sekolah dasar.
Kelelahan juga mendera Lilis (15), saudara sepupu Asri. Ditemui siang itu di rumah mereka, kedua gadis itu baru saja bersih-bersih dan menyiapkan makan. Lilis sengaja rebahan sejenak sambil menunggu gurunya yang akan bertandang ke rumahnya sekitar pukul 13.00.
”Saya ikut program Kejar Paket B, guru mau datang ke sini untuk persiapan cerdas cermat hari Minggu (13/3) nanti,” kata Lilis, putri bungsu pasangan Hendar (40) dan Ningrum (35).
Lilis bersama Asri baru saja tiba di rumah pukul 12.15, sepulang memetik daun teh di perkebunan teh di kawasan Cikoneng. Sebulan terakhir, produksi teh membaik. Pemetik, termasuk Lilis dan Asri, bisa mengumpulkan daun teh masing-masing 50 kilogram (kg).
Upah yang diterima dari lima jam memetik daun teh dihargai Rp 341 per kg sehingga hari itu ia mendapat upah Rp 17.050 untuk 50 kg pucuk daun teh. Hasil memetik teh bervariasi, bisa 20-100 kg per hari, tergantung banyak tidaknya daun layak petik sesuai dengan ketentuan perkebunan.
Selain memetik teh, Lilis dan pekerja perkebunan lainnya juga bertugas memupuk tanaman. Tidak hanya Senin, hari Sabtu bahkan Minggu pun mereka tetap bekerja. Mereka berangkat dari rumah sekitar pukul 06.00 dan mulai memetik atau memupuk pukul 07.00 hingga 12.00.
Keasyikan mencari uang membuat Lilis enggan sekolah, yang letaknya hanya sekitar 15 meter dari rumahnya. Padahal, ia masih terdaftar aktif sebagai siswa SMP Kejar Paket B, yang menumpang ruangan di SD Negeri Cikoneng, yang terletak di lokasi perkebunan.
”Sudah dua minggu ini saya tak sekolah. Malas. Buku pelajaran dan tugas rumah selalu diberikan guru. Namun, kalau sudah capek, jadi malas belajar,” ujar Lilis.
Terbatas
Sebenarnya, Lilis merindukan masa-masa saat ia masih duduk di bangku sekolah meskipun hanya sampai kelas VI SD. Ia pun ingin melanjutkan ke SMP negeri, di luar kawasan perkebunan. Keinginan serupa juga menjadi impian para orangtua yang sebagian besar juga pemetik teh.
”Siapa, sih, tidak mau anaknya sekolah dengan baik dan dapat memperbaiki nasib ini? Masalahnya, angkutannya terbatas. Angkutan perkebunan cuma untuk pekerja. Kalau mau pakai ojek, biayanya mahal. Belum lagi biaya lain-lain, seperti uang sekolah, buku, dan jajan,” kata Anah (40), ibu Asri.
Kepala Sekolah SD Negeri Cikoneng Yaya Nurjaya membenarkan, keterbatasan transportasi mengakibatkan murid dan warga harus berjalan kaki. Jarak permukiman pemetik teh dengan SDN Cikoneng, yang dibangun pengelola Perkebunan Teh Ciliwung untuk memfasilitasi pendidikan anak-anak pekerjanya, antara dua dan lima kilometer.
”Angkutan perkebunan ada pagi hari saat mereka mengantar pekerja ke kawasan perkebunan. Anak-anak bisa menumpang di angkutan itu. Namun, kalau pulang, mereka harus jalan kaki,” tutur Yaya.
Heri, salah satu guru SMP Kejar Paket B Cikoneng, mengakui kesulitan mengumpulkan atau menghadirkan keseluruhan murid dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah yang dilaksanakan setiap hari Minggu.
”Sekolah Kejar Paket B ini baru dua tahun berdiri. Dilangsungkan setiap hari Minggu. Namun, setiap murid mendapatkan buku gratis. Selalu ada tugas untuk dipelajari dan dikerjakan selama sepekan,” papar Heri.
Dian, juga guru SMP Kejar Paket B Cikoneng, mengatakan, saat masa panen atau produksi teh melimpah, sebagian besar muridnya memilih memetik teh daripada sekolah.
Meskipun selalu bersemangat untuk mengajak muridnya melanjutkan sekolah, ia tidak terlalu yakin akan kelangsungan program Kejar Paket B itu.
Di perkebunan di kawasan Cikoneng itu, menurut Anah, terdapat 70 kepala keluarga. Rumah yang mereka tempati adalah pemberian dari perkebunan. ”Satu rumah bisa ditempati dua sampai tiga kepala keluarga yang masih berhubungan dekat,” kata Anah yang tinggal di rumah berukuran 6 x 7 meter itu bersama dengan keluarga adiknya, ayah dan ibu Lilis.
Lilis dan Asri mulai menjadi pemetik teh setelah mereka tamat sekolah dasar. Awalnya, mereka ikut membantu memetik teh dengan orangtuanya.
”Sebelum tamat SD, kami tak boleh memetik teh. Kalau cuma sekadar ikut-ikutan dengan ibu, ya, bisa. Setelah tamat SD, baru bisa jadi pemetik,” kata Asri.
Setelah jadi pekerja, kebanyakan remaja memilih cepat menikah. Asri, putri tertua dari tiga bersaudara pasangan Anah (40) dan Uyat (45), akhirnya memilih menikah di usia belia dengan Lawi (21).
”Saya baru menikah setahun lalu. Suami saya juga pekerja perkebunan,” cerita Asri.
Dengan bekerjanya Asri, keluarga Anah mendapat tambahan penghasilan. Jika biasanya Anah dan Uyat hanya bisa menghasilkan rata-rata Rp 30.000 per hari, selama dua tahun terakhir pendapatan keluarga ini mencapai Rp 45.000 sampai Rp 60.000 per hari.(NELI TRIANA/PINGKAN ELITA DUNDU)
(Sumber: Kompas, 24 Maret 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar