Bertambah 50 Juta Jiwa dalam Kurun Waktu 7 Tahun Terakhir
Jakarta, Kompas - Bank Dunia mencatat jumlah warga kelas menengah di Indonesia bertambah 50 juta jiwa dalam kurun waktu 2003-2010. Inovasi dan aksesibilitas kaum kelas menengah adalah peluang bagi lebih banyak pemberdayaan dalam iklim demokrasi yang mapan.
”Ada minimal 7 juta warga kelas menengah baru di Indonesia per tahun dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir. Pada masa depan kelas menengah ini akan lebih banyak mengonsumsi, meminta pekerjaan yang lebih baik, pendidikan, dan jasa dengan kualitas lebih tinggi. Penyusun kebijakan jangka menengah harus mampu memenuhi aneka permintaan itu,” kata Direktur Bank Dunia untuk Indonesia, Stefan Koeberle, di sela-sela presentasi perkembangan triwulan perekonomian Indonesia dan Asia Timur dan Pasifik di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (16/3).
Kelas menengah, menurut Bank Dunia, adalah golongan masyarakat dengan pengeluaran harian per kapita sebesar 2 dollar AS-20 dollar AS, dengan daya beli tahun 2005. Jika pada 2003 jumlah kelompok ini berjumlah 81 juta jiwa, akhir tahun lalu jumlahnya telah menjadi 131 juta jiwa atau 56,5 persen dari total jumlah penduduk yang berjumlah 237 juta orang. Peningkatan di kelas menengah itu, menurut Bank Dunia, didominasi oleh mereka yang berada di tingkat pendapatan 2 dollar AS-6 dollar AS per hari.
Ekonom utama Bank Dunia untuk Indonesia, Shubham Chaudhuri, menyatakan, jumlah kelas menengah di Indonesia meningkat di daerah perkotaan dan pedesaan. Peningkatan jumlah kelas menengah di perkotaan terjadi pada periode 2003-2005, sementara fase selanjutnya didominasi masyarakat pedesaan.
Pengeluaran kelas menengah sebagai bagian dari keseluruhan pengeluaran meningkat dari 58,1 persen (2003) menjadi 76,7 persen (2010). ”Kondisi ini akan memiliki dampak yang cukup berarti pada struktur ekonomi dan penyusunan kebijakan ekonomi,” kata Shubham.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics & Finance Ahmad Erani Yustika menilai, kelas menengah Indonesia adalah pemimpin kegiatan ekonomi individu, belum mampu menjadi ”penyeret” kegiatan ekonomi masyarakat lain. Mereka kebanyakan pegawai, didominasi di bidang telekomunikasi dan keuangan. Solusinya adalah mengurangi tingkat ketergantungan pada APBN, misalnya proyek dari tingkat pusat, dan menumbuhkan semangat kewiraswastaan secara nasional. (BEN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar