Berbagai peristiwa kekerasan yang menimpa kelompok minoritas,mulai dari peristiwa yang menimpa kelompok Ahmadiyah,persoalan konflik tempat ibadah,hingga penyerangan terhadap sebuah pesantren yang disinyalir berhalauan Syiah,sangat memprihatinkan.
Peristiwa-peristiwa tersebut tidak bisa dilihat sebatas kulit luarnya, tapi di balik itu juga tersimpan sebuah sistem kesadaran (state of mind). Sistem kesadaran yang dimaksud terkait konstruksi cara pandang terhadap orang lain yang berbeda identitas dan keyakinannya. Orang yang berbeda,dengan segala ekspresi simboliknya, lebih dilihat sebagai ancaman daripada sebagai mitra. Atas dasar cara pandang demikian, kelompok minoritas seringkali menjadi sasaran diskriminasi. Dalam negara demokrasi memang ada jaminan persamaan di depan hukum (equality before the law),namun praktik- praktik diskriminasi atas dasar hukum juga merupakan kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri.Karena itulah, isu minoritas senantiasa menjadi isu politik yang menghiasi hampir semua negara yang di dalamnya terdapat relasi mayoritas-minoritas.
Di sinilah pentingnya kita menengok kembali fikih minoritas (fiqh al-aqalliyat). Dalam hukum Islam klasik, wacana mengenai minoritas tidak begitu berkembang. Memang ada pembahasan mengenai minoritas nonmuslim, tapi mereka lebih diposisikan sebagai warga negara kelas dua. Mengapa? Karena fikih Islam dengan seluruh pencabangannya dibangun di atas altar kesadaran bahwa Islam adalah mayoritas, pemenang, hidup dalam konstruksi negara Islam, dan seterusnya. Kesadaran demikian begitu kuat dalam memori kolektif para ahli hukum Islam.Karena itulah,mendirikan negara Islam sering dianggap sebagai bagian dari syariat Islam.
Asumsi demikian begitu jelas jika kita mempelajari fiqih siyasah (fikih politik) dan fiqih jinayah(fikih tentang pidana).Dalam dua bidang fikih tersebut senantiasa mengilustrasikan sedemikian kuat bahwa hukum pidana Islam akan mudah diterapkan jika sebuah negara berdasar Islam. Dalam perkembangan modern memang ada diskursus baru hukum Islam mengenai fikih minoritas.
Gagasan ini dilontarkan Yusuf Qardhawi yang menulis buku berjudul: Fiqh al- Aqalliyat al-Muslimat,Hayat al- Muslimin Wasat al-Mujtama'at al-Ukhra,(2001).Gagasan ini kemudian diperkuat dan dilanjutkan Thaha Jabir al-Alwani, seorang mufti di Amerika Utara, yang menulis buku Nazharat Ta'sisiyat fi Fiqh al-Aqalliyatdan Towards A Fiqh for Minorities: Some Basic Reflections,(2003).
Membalik Paradigma Fikih Minoritas
Gagasan tentang fikih minoritas ini merupakan respons untuk menghadapi kenyataan bahwa banyak muslim yang menjadi minoritas,hidup di negeri Barat yang tidak menerapkan prinsip-prinsip negara Islam. Isu-isu yang diangkat dalam diskursus ini sangat teknikal seperti soal makanan halal, bersuami nonmuslim, salat Jumat, puasa, dan sebagainya. Karena itu, gagasan ini tidak terlalu relevan di Indonesia. Nah,gagasan fikih minoritas ini sebenarnya bisa dikembangkan. Tidak semata-mata bagaimana muslim menjadi minoritas, tapi juga bagaimana muslim yang mayoritas memperlakukan minoritas.
Dalam konteks inilah gagasan fikih minoritas mempunyai relevansi di Indonesia.Pertama,umat Islam Indonesia dalam posisi mayoritas, sehingga perlu landasan fikih untuk memperlakukan minoritas.Kedua,Indonesia bukan negara Islam, sehingga semua agama mempunyai posisi yang sama di Indonesia. Dalam kaitan ini, salah satu tema penting fikih minoritas yang harus dilihat adalah persoalan status negara dan warga negara.Pertanyaannya adalah apakah muslim yang tidak tinggal di negara Islam bisa disebut sebagai dâr al-harb (wilayah perang)? Pertanyaan ini menjadi persoalan serius dalam diskursus fikih minoritas karena nyatanya mereka hidup dalam sebuah negara yang, bukan saja tidak negara Islam, melainkan juga dalam beberapa aspek bertentangan dengan ajaran normatif Islam.
Dalam khazanah politik Islam dikenal pembedaan yang tegas antara dâr al-Islâm dan dâr al-harb. Dâr al-Islâm adalah wilayah politik yang dikuasai umat Islam dan hukum Islam menjadi dasar pengaturannya. Komunitas yang tinggal di sana biasanya disebut sebagai ummah. Negara jenis ini diasumsikan memberi perlindungan dan jaminan kepada nonmuslim asal mereka mau tunduk dan membayar jizyah kepada penguasa muslim. Mereka ini disebut dzimmi, yaitu komunitas minoritas yang dilindungi dan bebas menjalankan ajaran agamanya. Dalam ajaran Islam klasik, segala sesuatu yang berada di luar dâr al-Islâm adalah dâr alharb, yaitu negara yang secara politik menyatakan perang dengan Islam. Di wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah perang, yang berlaku adalah hukum perang.
Di antara dua wilayah tersebut, ada kategori lain yang disebut dengan dâr al- ‘ahd (daerah perjanjian) atau dâr al-sulh (wilayah damai). Harus dikatakan di sini, konsep-konsep tersebut tidak mempunyai relevansi lagi dalam konteks negara modern.Paham kewarganegaraan dalam fiqh al-siyâsah¸ terutama menyangkut kelompok minoritas, tidak bisa didasarkan pada sistem dzimmah, tapi sistem kewarganegaraan berbasis hak asasi manusia (HAM).Konsep warga negara berbasis HAM berarti norma substantif, prosedur, dan proses statusnya sesuai standar HAM yang berlaku secara universal. Piagam HAM internasional tidak mendefinisikan konsep warga negara secara rigid, tapi juga berisi prinsip yang bisa diaplikasikan di berbagai negara.
Beranjak dari pemaparan tersebut, semangat antidiskriminasi tidak bisa ditegakkan jika paradigma dzimmi masih menyelinap dalam pikiran. Dengan demikian,konsep dzimmi tidak boleh dipraktikkan dan dianjurkan di negeri muslim mana pun yang menggunakan sistem kewarganegaraan berbasis HAM. Inilah pintu masuk untuk menjadikan fikih minoritas sebagai fikih tanpa diskriminasi. Hal ini pun belum menjadi jaminan bahwa di negerinegeri muslim yang sudah mengadopsi sistem kewarganegaraan berbasis HAM tidak ada diskriminasi.
Tulisan: Rumadi-Peneliti Senior The WAHID Institute, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta
(Sumber: Seputar Indonesia, Sunday, 03 April 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar