Senin, 04 April 2011

Mengurai Ketimpangan

Sejak pembangunan ekonomi dijalankan secara normal mulai 1966, sebetulnya bisa dikatakan Indonesia telah berada dalam jalur pembangunan yang lurus.
Hasilnya, pertumbuhanekonomikian stabil dan menanjak, inflasi dapatdijinakkan,investasiswasta (domestik dan asing) terus bergerak,ekspor-impor berkembang dinamis,dan pendapatan per kapita makin membesar. Selama rentang waktu 45 tahun ini memang kadangkala diselingi dengan aneka kemerosotan ekonomi seperti yang terjadi pada 1982, 1997, dan 2008. Namun, perekonomian secara umum terus bergerak dengan laju yang cukup kencang. Sekurangnya pertumbuhan ekonomi selalu menjadi kisah manis yang membuat bangsa ini dianggap sebagai salah satu dari emerging markets (dulunya termasuk negara yang ajaib di kawasan Asia Timur).

Sayangnya, dalam soal pemerataan pendapatan (pembangunan), masalah yang terjadi tidak pernah mengalami perbaikan,bahkan akhir-akhir ini justru melaju ke arah yang memburuk.

Tipologi Ketimpangan
Sekadar merangkum kinerja pemerataan pendapatan dalam beberapa tahun terakhir, dapat dideskripsikan sebagai berikut.Pada 1999, Rasio Gini (yang mengukur ketimpangan pendapatan dari skala 0-1) masih cukup bagus,yakni 0,31.Setelah itu,Rasio Gini memburuk berturut-turut 0,32 (2002); 0,34 (2005); 0,35 (2006); 0,37 (2009); 0,36 (2008); dan 0,35 (2009). Pengukuran Rasio Gini ini masih menggunakan dasar pengeluaran, bukan pendapatan. Seandainya pengukuran Rasio Gini memakai dasar pendapatan, barangkali akan jauh lebih tinggi (timpang).

Pemburukan ketimpangan itu terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan misalnya pada 1999 pertumbuhan ekonomi 0,79%; 2002 (4,30%); 2005 (5,60%); 2006 (5,50%); 2007 (6,20%); 2008 (6,00%), 2009 (4,50% karena krisis ekonomi); dan 2010 (6,10%). Data tersebut dengan terang mengungkapkan pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan ketimpangan. Ketimpangan lain bisa dilihat dari disparitas antarsektor ekonomi. Dengan melihat rata-rata pertumbuhan sektor ekonomi (2004-2009),akan terlihat ketimpangan antara pertumbuhan sektor tradeable (riil) dan sektor non-tradeable. Pada periode itu sektor tradeable hanya tumbuh rata-rata 3,33%, sedangkan sektor nontradeabletumbuh 8,80%.

Secara lebih rinci, pertumbuhan rata-rata sektor tradeable dalam kurun waktu tersebut: sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (3,70%); pertambangan(2,38%); danindustripengolahan(3,92%). Sementara itu, pertumbuhan rata-rata sektor non-tradeable dalam kurun waktu tersebut: sektor listrik,gas,dan air bersih (9,42%); konstruksi (7,79%); perdagangan, hotel, dan restoran (6,33%); pengangkutan (14,62%); keuangan, real estat, dan jasa perusahaan (6,69%); serta jasa-jasa (6,08%). Data tersebut memaklumatkan betapa makin terpinggirkannya sektor pertanian dan industri sebagai penopang pertumbuhan ekonomi. Padahal, sektor pertanian dan industri yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional, khususnya dari sisi penyerapan tenaga kerja. Pada 2010 sektor pertanian tercatat menyerap 38,34% dan sektor industri menampung 12,77% tenaga kerja.

Ketimpangan itu bisa juga diperiksa dari sisi wilayah. Jamak dikatakan,pembangunan ekonomi di Indonesia sebetulnya hanya terjadi di Jawa dan Sumatera. Jika pernyataan itu dikonfirmasi dengan data,nyatanya tidaklah salah. Secara nasional, Pulau Jawa dan Sumatera menguasai lebih dari 80% dari PDB Indonesia.Pada 2008 misalnya kontribusi Sumatera terhadap PDB sebesar 22,9%; Jawa 57,9%; Bali dan Nusa Tenggara 2,5%; Kalimantan 10,4%; Sulawesi 4,3%; dan Maluku dan Papua 2,0%. Jadi, pada 2008 Sumatera dan Jawa menyumbang 80,8%; namun pada 2010 meningkat menjadi 81,0%. Pada 2010, kontribusi Kalimantan bahkan merosot tinggal menjadi 9,1%.

Kebijakan dan Kelembagaan
Dengan rincian data-data tersebut, sebetulnya kelompok yang tidak tersentuh setidaknya kurang diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi cukup mudah dipetakan. Kelompok ekonomi itulah yang selama ini ditinggalkan oleh mesin pertumbuhan ekonomi, yang terkonsentrasi di sektor nontradeable dan berlokasi di Jawa (dan Sumatera).

Dengan catatan ini sebenarnya tidak sulit mendesainstrategipembangunan yang menyatukan antara capaian pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Secara garis besar ada dua hal yang mesti dilakukan: merombak kebijakan dan mendesain kelembagaan. Pada level kebijakan,seperti yang sudah diulang ribuan kali, promosi pembangunan industri yang berbasis sektor pertanian masih merupakan pilihan terbaik bagi Indonesia. Pada posisi ini pemerintah telah menyia-nyiakan dua hal sekaligus: mengembangkan produksi hulu di sektor pertanian dan meninggalkan industri pengolahan (hilir).Bisa dibayangkan, jika industri pengolahan dibangun pada masing-masing komoditas pertanian yang memiliki potensi besar,berapa banyak donasi lapangan kerja, nilai tambah, dan peluang ekspor yang dapat diraih.

Berikutnya,pemerintah harus berani keluar dari zona kenyamanan. Saatnya pembangunan ekonomi di geser ke Indonesia timur, di mana konsekuensinya sebagian besar alokasi anggaran dan insentif ekonomi perlu dibelokkan ke sana. Salah satu yang terpenting adalah infrastruktur seperti jalan,listrik,dan pelabuhan. Program pengembangan koridor ekonomi dan konektivitas mesti diletakkan dalam konteks pergeseran wilayah pembangunan ekonomi ini. Terakhir,kelembagaan ekonomi merupakan bagian yang harus disentuh, tidak boleh dialpakan.

Kelembagaan ekonomi yang mesti dipersiapkan antara lain statuta upah minimum, hubungan kerja yang lebih memihak petani dan buruh, sertifikasi lahan yang intensif, legalisasi sektor informal dan usaha kecil, akses modal yang lebih ramah di pedesaan, dan regulasi persaingan usaha yang adil. Gabungan antara kebijakan yang solid dan kelembagaan yang utuh inilah yang akan mengantarkan kepada pencapaian pembangunan yang berkualitas.●

AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef   
(Sumber: Seputar Indonesia, 04 April 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar