Oleh: Hasibullah Satrawi
Revolusi Mesir yang berhasil melengserkan Hosni Mubarak ”bertarif” sangat mahal.
Revolusi Nil ini tak hanya harus dibayar dengan instabilitas keamanan yang kian tak menentu. Namun, ratusan nyawa juga melayang akibat revolusi tersebut. Bahkan revolusi 25 Januari itu berpotensi memakan korban jiwa lebih banyak mengingat revolusi itu seakan membuka pintu konflik sektarian yang mengancam keberlangsungan kerukunan antarumat beragama.
Selama ini Mesir dikenal dengan kerukunan antarumat beragama yang bisa menjadi model kerukunan bagi negara-negara lain. Sebuah kerukunan yang tak hanya berlangsung indah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sana, juga di kalangan elite dan pemuka agama.
Pada saat ucapan selamat Natal di republik ini diharamkan, contohnya, para ulama terkemuka Al-Azhar (seperti almarhum Grand Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi) justru turut merayakan hari raya keagamaan umat Kristen (Koptik) di sana. Sebaliknya, para pemuka Koptik juga merayakan hari raya keagamaan yang dilakukan umat Islam. Panorama toleransi yang dibintangi para pemuka agama itu senantiasa dipublikasikan secara luas oleh media di Mesir, baik cetak maupun elektronik.
Dalam buku berjudul Qabûlul Âkhâr, Milad Hana—seorang pemikir Koptik—mengatakan, ”Islam di Mesir berwajah Suni, berdarah Syiah, berhati Koptik, dan bertulang peradaban Firaun.” Ungkapan yang lebih kurang sama juga pernah disampaikan tokoh Koptik lain, Baba Syanudah. Ia mengatakan, ”Kami (bangsa Mesir) tidak hidup di negara Mesir. Mesir-lah yang hidup dalam diri kami.”
Kerukunan antara
Harus diakui, selama ini Mesir memang tidak 100 persen bersih dari konflik bercorak keagamaan dan bersemangat sektarianistik. Juga selama Hosni Mubarak memimpin negeri itu.
Meski demikian, pada masa berkuasa, Mubarak senantiasa menggunakan tangan besinya untuk menekan konflik-konflik seperti itu dengan cara menghukum tegas para pelaku anarki. Dengan begitu, konflik yang ada tidak menjalar dan menimbulkan konflik-konflik yang lain.
Akan tetapi, beberapa bulan menjelang lengsernya Mubarak, aksi kekerasan bernuansa agama marak terjadi di Mesir. Kini, setelah Mubarak lengser, konflik berbau keagamaan tersebut semakin menjadi-jadi. Pembakaran rumah ibadah pun kerap terjadi.
Sebagian pihak menuduh loyalis Mubarak sebagai dalang utama di balik semua konflik sektarian yang terjadi di Mesir saat ini. Mereka sengaja menciptakan semua kerusuhan sebagai bentuk balas dendam sekaligus ”revolusi melawan arah” (ats-tsaurah al-mudhadah) terhadap revolusi 25 Januari.
Terlepas dari benar tidaknya keterlibatan loyalis Mubarak, semua aksi kekerasan tersebut menunjukkan bahwa tangan besi yang digunakan Mubarak selama ini untuk menekan konflik bercorak keagamaan hanyalah untuk ”tujuan antara” (menciptakan stabilitas keamanan dan keberlangsungan pemerintahannya), bukan menciptakan kesadaran sejati tentang kerukunan di kalangan umat beragama.
Demi keberlangsungan pemerintahannya, Mubarak memaksa semua pihak untuk tidak berkonflik. Adapun benih-benih konflik—terutama secara teologis—senantiasa tidak tersentuh oleh tangan besi Mubarak. Akibatnya, benih-benih itu kini menjelma sebagai konflik subur seiring dengan ”terpotongnya” tangan besi Mubarak.
Belajar dari Indonesia
Apa yang dilakukan Mubarak selama 30 tahun berkuasa terkait kerukunan umat beragama hampir sama dengan yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun berkuasa di negeri ini. Keduanya sama-sama menggunakan tangan besi untuk menekan aksi kekerasan dan konflik bernuansa agama sekaligus menciptakan kerukunan yang bersifat antara.
Kondisi konflik di dua negara ini pasca-lengsernya diktator masing-masing pun sama-sama mengalami peningkatan yang sangat drastis. Bahkan tak tertutup kemungkinan kerukunan umat beragama di Mesir ke depan akan mengalami nasib yang lebih kurang sama dengan yang terjadi di negeri ini hingga sekarang, terutama bila tidak ada kedewasaan berpolitik di kalangan elite dan politisi. Terlebih lagi bila konflik dan aksi kekerasan digunakan untuk kepentingan kekuasaan yang bersifat politis.
Di sinilah pentingnya politisi Mesir pasca-Revolusi Nil mengambil pelajaran berharga dari Indonesia terkait konflik bernuansa agama. Pelajaran ini tentu bukan untuk ditiru, melainkan untuk dibuang sejauh mungkin agar kerukunan umat beragama di Mesir tidak seperti yang terjadi di Indonesia.
Hasibullah Satrawi Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah pada Moderate Muslim Society
(Sumber : Kompas, 21 Maret 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar