Negara-negara di dunia berlomba-lomba meningkatkan kemampuan negaranya agar bersaing di pasar global untuk masa sekarang dan yang akan datang. Fakta membuktikan bahwa negara yang menguasai teknologi yang dapat bersaing di percaturan global sekalipun negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA). Sebagai contoh Jepang dan Korea Selatan, kedua negara ini termasuk pengekspor produk teknologi yang mempunyai nilai tambah tinggi dan menjadikannya di barisan negara maju. Indonesia termasuk beruntung karena dikaruniai SDA melimpah yang bisa diekspor, tetapi sampai kapan keberuntungan ini? Di dalam fakta sejarah, penguasaan teknologi yang dimiliki negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), negara-negara Eropa, dan Jepang sudah dimulai sejak zaman revolusi industri pada awal abad 19. Mark Fruin (1992) di dalam The Japanese Enterprise System menjelaskan fase industrialisasi Jepang sejak zaman Tokugawa (1603-1868) dan berkembang pesat ketika Restorasi Meiji (1868-1911) untuk mengatasi ketertinggalan dari Eropa dan AS.Cikal bakal raksasa industri Jepang seperti Mitsubishi, Sumitomo, Kawasaki sudah ada sejak zaman Tokugawa dan Meiji. Adapun raksasa industri lainnya banyak lahir sebelum berakhirnya perang dunia kedua seperti Mitsui (1911),Matsushita Electric (1918), Hitachi (1923), Toyota Motor (1937). Michael Best (2001) di dalam The New Competitive Advantage-The Renewal of American Industry menjelaskan perkembangan teknologi AS di mana beberapa raksasa industri AS sudah berdiri sejak abad ke-19 seperti Pratt and Whitney (1860), General Electric (1892),Ford Motors (1903), Boeing (1916). Kini AS dikenal tidak hanya menguasai teknologi industri berat, tetapi juga industri komputer dan nano technology seperti Intel,AMD, Microsoft, Apple, Motorola, IBM,HP,Google,Facebook. Becermin pada Korsel dan China Ketika di negara-negara maju sedang berlangsung proses industrialisasi, negara-negara Asia tengah terjajah seperti China, Korea Selatan (Korsel), termasuk Indonesia yang sama-sama lepas dari pendudukan Jepang pada 1945. Akan tetapi China dan Korsel telah bangkit dan kedua negara ini berusaha mengatasi ketinggalannya dari negara lain. Industri Korsel kini sudah dikenal di dunia dengan produk teknologinya. Sea Jin Changi (2003) dalam bukunya memaparkan, industri Korsel tidak terlepas dari peran lima konglomerat besar (chaebol) yang dibesarkan atas dukungan pemerintah ketika negara ini membangun infrastruktur selepas pendudukan Jepang. Usia berdirinya para chaebol tidak setua perusahaan Eropa, AS, dan Jepang seperti Hyundai Construction (1950), Daewoo (1967), SK Group (1953). Adapun Samsung dengan Cheil Jedang dan LG berdiri selepas pendudukan Jepang. Para chaebol selanjutnya melakukan ekspansi besar-besaran di sektor industri berat,konstruksi, petrokimia,energi,otomotif, elektronik, perkapalan, ritel,dan keuangan. Adapun perkembangan teknologi dan industrialisasi China dimulai pada 1978 ketika Deng Xioping mulai membuka diri dengan dunia luar, memulai reformasi ekonomi dan pada 1992 melakukan reformasi investasi (Greeven, 2004). Agar tidak tertinggal jauh dari negara lain, China agresif mendorong BUMN melakukan reverse engineering dan membuat kebijakan transfer teknologi dengan perusahaan multinasional. Contohnya penguasaan teknologi kereta api cepat. Pada 2004 Kementerian Kereta Api China menandatangani kontrak dengan Alstom untuk membuat kereta api cepat CRH5 Pendolino dengan kecepatan 250 km/jam sebanyak 60 set, tetapi 51 set dibuat di dalam negeri dengan perjanjian transfer teknologi kepada Changchun Railway Vehicle. Pada 2005 Kementerian Kereta Api menandatangani kontrak kembali dengan Siemens untuk membangun CRH3 Velaro dengan perjanjian transfer teknologi kepada Tangshan Railway Vehicle. Kini China sudah menguasai teknologi industri berat, komputer sampai nano technology. Investasi dan Transfer Teknologi Negara-negara maju memproteksi teknologinya agar tidak bisa dikuasai negara lain sehingga yang diinginkan adalah ketergantungan terusmenerus dan tetap menjadi pasar yang menarik. Negaranegara maju ingin sekali tergabung dalam pasar bebas dengan ASEAN seperti Uni Eropa, China, dan Jepang karena merupakan pasar yang menarik, terutama Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Pemerintah berencana membangun infrastruktur untuk percepatan pertumbuhan ekonomi dan mendorong BUMN untuk melakukan ekspansi bisnis. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Bappenas) mencatat kebutuhan investasi infrastruktur di Indonesia hingga 2014 mencapai Rp1.923 triliun (SINDO, 22/02), sedangkan BUMN siap berinvestasi hingga Rp836 triliun sampai dengan 2014. Rencana investasi tersebut merupakan jumlah yang sangat besar yang dapat dijadikan momentum sebagai bagian dari alih dan transfer teknologi. BUMN sudah saatnya mensyaratkan di dalam tendernya, sebagian besar peralatan dibuat di dalam negeri sekalipun masih dalam supervisi perusahaan asing. Kita berharap dari proyek pemerintah dan BUMN akan mendapatkan nilai tambah maksimal kemampuan SDM nasional. Proyek pembangunan pembangkit listrik dengan hanya mengejar biaya terpasang murah, sedangkan pemasangan dilakukan oleh tenaga asing merupakan kemunduran besar. Kalau demikian keadaannya,di mana letak human capital? Padahal menurutJack JPhillips(2005),human capital merupakan investasi manusia untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian. Indonesia sudah 65 tahun merdeka, tetapi industrinya belum sampai ke fase elektromekanikal seperti kemampuan membuat turbin-generator, kereta api cepat, peralatan pelabuhan dan pertambangan. Oleh karena itu pemerintah saatnya menaruh perhatian besar kepada investor teknologi untuk memberikan keringanan fiskal sehingga mendorong perusahaan multinasional untuk membuka industri teknologinya di Indonesia. Ketika industri teknologi sudah tersedia, proyek-proyek pemerintah dan BUMN mendukungnya dengan mensyaratkan untuk menggunakan produknya sehingga perusahaan asing akan tertarik untuk membuka industri teknologinya dan menjadikan Indonesia sebagai basis manufaktur. Alih teknologi dan hadirnya investor teknologi akan meningkatkan kemampuan nasional menuju gerbang industrialisasi yang menjadikan negara ini tetap bersaing ketika cadangan SDA mulai menipis.● (Oleh: MUDI KASMUDI, Alumnus ITB dan UI, Praktisi Energi dan Industri Pertambangan) (Sumber Seputar Indonesia, 19 Maret 2011) |
Sabtu, 19 Maret 2011
Teknologi dan Industrialisasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar