Radhar Panca DahanaPeristiwa alam, gempa dan tsunami, di Jepang terancam menjadi bencana kemanusiaan ketika beberapa reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima meledak.
Bayangan kengerian akan radiasi nuklir menggandakan kepanikan serta mulai mengganggu stabilitas mental dan intelektual masyarakat Jepang.
Laporan mutakhir Kompas (Senin, 21/3/2011) melukiskan hebat dan kuatnya karakter dan jati diri bangsa Jepang saat mengalami bencana beruntun itu. Dalam kelangkaan semua sumber daya, mereka tanpa mengeluh antre berjam-jam sepanjang 5 kilometer. Beberapa kisah juga mengabarkan bagaimana kesulitan yang dahsyat tidak melunturkan hasrat orang Jepang menolong orang lain.
Kekuatan bangsa seperti ini, ditambah sistem yang cepat tanggap dan akurat, membuat bangsa-bangsa lain memberi tabik. Bahkan PBB pun memberi apresiasi tinggi. Satu hal yang amat penting dari situasi ini adalah kepercayaan masyarakat Jepang kepada pemerintahnya, bahwa pemerintah akan bertanggung jawab menyelamatkan hidup mereka. Pemerintah menjadi acuan utama, sumber perlindungan, seperti orangtua yang penuh wibawa.
Maka, dalam dua lapis utama masyarakat, atas dan bawah, pemimpin dan rakyat, Jepang menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa unggul. Pemerintah yang disiplin, beretos dan beretika tinggi, penuh tanggung jawab, relatif bersih dari penyimpangan, serta peduli hajat hidup rakyat membuat Jepang mungkin memiliki indeks kepercayaan publik (salah satu yang) tertinggi di dunia.
Begitu pun lapisan bawah. Menurut Profesor Yamamoto Nobuto dalam wawancara dengan Kompas, mereka berhasil membuktikan tingginya eksistensi sosial dalam diri setiap manusia Jepang. ”Komunitas menjadi basis sosial,” katanya.
Artinya, keberadaan atau eksistensi manusia bagi orang Jepang terfaktualisasi dan teraktualisasi berdasarkan referensi atau konteks pada faktualisasi dan aktualisasi orang lain, komunitasnya. ”Rasa kebersamaan kunci kebesaran bangsa ini,” ujar Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuwan Indonesia di Universitas Chiba. Bagaimana dengan kita?
Kita tidak kalah
Sebenarnya semua ciri dasar ”karakter kuat” bangsa Jepang juga kita miliki. Bahkan potensi kita mungkin lebih besar. Bukankah kita bisa antre hingga berhari-hari dan berpekan—dengan panjang antrean hingga 30 km—seperti yang terjadi di Pelabuhan Merak?
Kita melakukan semua dengan sabar. Kalaupun ada keluhan, kadang itu disampaikan dengan humor hitam. Bila keadaan akibat negara (cq pemerintah) tak menjalankan kewajiban itu terjadi di Eropa, Amerika, bahkan Jepang, tentu sudah berlangsung protes keras dan demonstrasi.
Begitu pun soal tolong-menolong sesama korban ataupun warga. Saya kira cerita semacam ini sudah menjadi kisah harian di negeri kita.
Soal solidaritas, kebersamaan, dan aktualisasi diri dalam konteks sosial? Sesungguhnya semua itu merupakan watak dasar dari kita, bangsa Indonesia. Kenapa hal itu terasa luntur atau katakanlah dipilin dan dimanipulasi menjadi solidaritas yang destruktif, seperti korupsi, kebohongan, kemunafikan, dan kekerasan fisik, itu dapat dibahas di tempat lain.
Dalam konteks tulisan ini, kita bisa membuktikan bagaimana manusia Indonesia pada dasarnya lebih sebagai homo socius ketimbang homo individualis. Kita merasa belum menjadi ”diri”, menjadi ”manusia” atau dadi wong kata orang Jawa, jika belum merasa berbuat untuk (kepentingan) orang lain/banyak. Pada momen itu kita merasa sebagian dari diri (jiwa dan pikiran) kita hampa, kosong.
Maka, lihatlah betapa banyak dari kita mencari momen itu dan mengisinya dengan pelbagai tindak sosial. Tak peduli ia agamawan, orang terpelajar, koruptor, atau penjahat sekalipun. Ada yang datang langsung ke daerah korban, ke tempat fakir, dan masuk ke ruang-ruang spiritual (yang sebagian ditawarkan seperti jasa spa atau tempat hiburan), dan seterusnya.
Tidak seperti dinyatakan Profesor Nobuto, semua berakar dalam kebudayaan asli dan dalam spiritualitas asli rakyat, bukan sekadar hasil pendidikan, seperti di Jepang yang datang dari masa Restorasi Meiji. Pendidikan adalah stimulus kuat, tetapi kebudayaanlah yang memberi fondasi. Akar kebudayaan kitalah yang membuat modus eksistensial kita berproses melalui konteks dan acuan sosialnya.
Selimut posmodern
Belakangan ini kita sama-sama mengeluh, bagaimana semua realitas diri yang sesungguhnya itu seperti hilang. Lalu, kita melihat Jepang yang begitu modern, tetapi tetap pada kekuatan etos dan etika tradisionalnya.
Namun, benarkah demikian Jepang saat ini? Dalam laporan pada hari yang sama, dengan opini dari profesor yang sama, Nobuto, Kompas melaporkan bahwa rakyat Jepang mulai kehilangan kepercayaan kepada pemerintah soal penanganan ancaman bencana nuklir.
Artinya, dalam waktu tidak lebih dari sebulan, gejala ketidakpercayaan kepada pemerintah—yang juga kita alami saat ini—sudah terlihat di negeri semakmur Jepang. Untuk ketidakpercayaan semacam itu, rakyat Indonesia membutuhkan waktu hampir setengah abad dan berganti lima presiden. Pukulan keras yang menghantam karakter kultural kuat bangsa kita datang bertubi, tidak hanya dari alam, tetapi juga dari sepatu dan peluru militer, dari politik yang selfish dan koruptif, dari pengusaha gergasi yang melihat manusia sebagai lembaran dollar saja, dari cara hidup yang artifisial dan virtual, dari gempuran kepentingan asing.
Saya kira, tanpa harus mengalami sejarah seperti rakyat Indonesia, Jepang—juga negara-negara ”hebat” Eropa dan Amerika—akan mendapatkan rakyat yang keras, ganas, culas, dan seterusnya. Karakter—pada momen itu—hanya tersisa dalam catatan historis dan biografis.
Hal yang menarik dari krisis kepercayaan orang Jepang, antara lain, hanya didasarkan pada informasi dari luar, tentang rentang aman radiasi nuklir. Amerika Serikat menyatakan 80 km, otoritas Jepang 30 km. Pemerintah AS dan sekutunya segera mengevakuasi warga di rentang 80 km, bahkan menutup kantor kedutaan di Tokyo yang berjarak 200 km.
Hanya dengan kerancuan informasi itu ”karakter kuat” orang Jepang goyah. Bagaimana membayangkan diri Anda, sebagai orang Indonesia, yang berdekade mengalami kerancuan semua standar dan ukuran, kehilangan etos dan etika? Akan tetapi, hingga hari ini, kesabaran itu, solidaritas itu, humor hitam itu, kesatuan bangsa itu, masih tetap bertahan. Tidakkah kita begitu kuat?
Mungkin belum banyak kita menyadarinya. Sangat sedikit yang dapat mengeksplorasi dan memanfaatkannya. Zaman posmodern ini telah memberi kita selimut hangat, yang tidak hanya menutupi rasa dingin dan cemas kita secara palsu, tetapi juga secara langsung menutupi (baca: menyembunyikan) realitas diri dan kekuatan kita yang sebenarnya itu.
Radhar Panca Dahana Budayawan
(Sumber: 23 Maret 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar