Minggu, 20 Maret 2011

Kelas Menengah, Baru Sebatas Jumlah

Artikel: Ninuk M Pambudy
Seandainya pertunjukan ”Musikal Laskar Pelangi”, 17 Desember 2010 hingga 9 Januari 2011, di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, bisa menjadi indikator kelas menengah Indonesia, gambar yang terpampang adalah optimisme.
Tiket pertunjukan musikal berdurasi tiga jam itu terjual habis. Penonton berlaku tertib saat antre masuk ataupun keluar dan selama pertunjukan. Sesekali terdengar tawa menyambut dialog pemain, tetapi tidak teriakan.
Pertunjukan musikal masih langka digelar di Indonesia. Toh, penonton membayar karcis tak murah pada ”Musikal Laskar Pelangi”, dari Rp 100.000 untuk kelas 3 hingga Rp 750.000 untuk kelas VVIP. Melihat harga tiket, jenis pertunjukan, dan penuhnya tempat parkir oleh mobil pribadi, inilah gambaran terkini kelas menengah Indonesia.
Di sisi lain, rencana Menkominfo memblokir layanan pencarian internet BlackBerry jika produsennya, Research in Motion, tidak menutup situs-situs pornografi mengundang komentar ramai di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Diskusinya lebih riuh daripada pernyataan tokoh agama yang menagih kejujuran pemerintah dalam penanganan beragam persoalan dasar bangsa.
Siapakah kelas menengah?
Ir Sutarum Wiryono, MSc (50), officer bidang pendidikan di Bank Pembangunan Asia (ADB) di Jakarta, misalnya, mengaku belum tertarik pada politik meski pernah ditawari mencalonkan diri menjadi wakil bupati di Yogyakarta. Dia lebih tertarik aktif di masjid dan ikut menyumbang pada kegiatan ekonomi di situ selain aktif dalam kelompok kecil profesi. ”Ngapain cari penyakit (dengan masuk ke politik), nanti ujungnya masuk penjara,” kata dia.
Perhatian pada masalah bangsa disalurkan melalui kerja profesionalnya dalam bidang pendidikan. ”Saya berbuat melalui sisi profesi, misalnya ikut membuat kajian dan standar pelayanan pendidikan,” tutur dia.
Kualitas
Pemerintah mengklaim ekonomi RI sebagai terbesar ke-16 di dunia dan produk domestik bruto (PDB) 3.000 dollar AS per kapita. Tahun ini target pertumbuhan ekonomi 6,4 persen, lebih tinggi dari tahun 2010 yang 5,9 persen, meski dibayangi inflasi oleh harga pangan karena cuaca buruk dan bahan bakar minyak yang subsidinya dibatasi. Kajian ADB pertengahan 2010 juga menunjukkan bertambahnya jumlah kelas menengah di Asia.
Ada banyak definisi kelas menengah. Anthony Giddens, misalnya, menyebut kelas menengah sebagai mereka yang karena pendidikan dan kualifikasi teknisnya dapat menjual tenaga serta pikirannya untuk mencari penghidupan yang hasilnya secara materi dan budaya jauh di atas buruh (Sociology, 2001).
ADB dalam laporan pertengahan 2010 mengukur besarnya kelas menengah di Asia berdasarkan tingkat pengeluaran, 2-20 dollar AS per kapita per hari. Kelas menengah-bawah berpengeluaran 2-4 dollar AS (sekitar Rp 540.000-Rp 1,1 juta/orang/bulan atau Rp 2,16 juta-Rp 4,4 juta per keluarga dengan 4 anggota); kelas menengah-tengah 4-10 dollar AS (Rp 1,1 juta-Rp 2,7 juta/orang/bulan); dan kelas menengah-atas 10-20 dollar AS (Rp 2,7 juta-Rp 5,4 juta/orang/bulan).
Meski total kelas menengah Indonesia meningkat, dari 45 juta orang pada tahun 1999 menjadi 93 juta orang pada 2009, jumlah kelas menengah-bawahnya 74 persen.
Kelas menengah-bawah ini rawan tergelincir jadi miskin kembali. Artinya, sebagian besar kelas menengah belum mampu menciptakan pembentukan modal yang juga penting untuk mengakses teknologi modern. Kelas menengah-tengah dan ataslah yang dapat hidup di atas garis subsisten, bahkan menabung dan membeli barang di luar kebutuhan dasar.
Data ADB memperlihatkan, pembentukan modal Indonesia jauh di bawah China dan India sehingga dalam jangka panjang PDB kedua negara itu tetap tak terkejar negara ”pesaingnya” di Asia, termasuk Indonesia.
Kritis
Jajak pendapat Litbang Kompas di 10 kota besar di Indonesia memperlihatkan, kelas menengah-bawah tidak tertarik membahas persoalan di tingkat kota/wilayah, apalagi nasional. Mereka juga tidak tertarik pada organisasi politik dan lebih memilih organisasi profesi atau keagamaan.
Dr Yanuar Nugroho, pengajar di Manchester Business School, Inggris, yang meneliti media sosial dan kelas menengah di Indonesia, berpendapat, di Indonesia belum terbentuk kelas menengah sesungguhnya. Antara yang dicitakan dan yang dilakukan tidak berhubungan. Mereka percaya ide-ide demokrasi, tetapi tidak mau terlibat aktif dalam politik atau memengaruhi keputusan publik. ”Paling ramai di Facebook atau Twitter,” kata dia.
Direktur Eksekutif Econit Hendri Saparini berpendapat, di Indonesia yang pemerintahnya tidak memberi jaminan sosial untuk seluruh rakyatnya, ukuran 2 dollar AS/hari akan sangat tidak memadai untuk menjadi ukuran kelas menengah. Pengeluaran tingkat menengah-bawah yang sebetulnya berada dalam keadaan hampir miskin sebagian besar habis untuk pangan.
Hendri melihat, yang masuk dalam kategori kelas menengah Indonesia adalah yang dalam data statistik bekerja dalam bidang jasa kemasyarakatan; bukan tak mungkin termasuk tukang reparasi di pinggir jalan dan tukang jahit keliling.
Sistem pemilihan langsung kepala daerah dan presiden menurut Hendri juga menyumbang lahirnya ”kelas menengah”, selain karena program pemerintah seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang membagi-bagi uang pembangunan ke desa.
Saat ini, menurut Yanuar, kelas menengah Indonesia lebih bersikap apolitis, tetapi mudah digerakkan sentimennya, terutama yang pengeluarannya 2 dollar AS/hari. Itu menjelaskan mengapa bertambahnya kelas menengah tak diikuti menurunnya perilaku kekerasan dan fundamentalis. ”Ini tak akan terjadi pada kelas menengah sesungguhnya. Mereka pasti melawan tindak kekerasan atau fundamentalisme karena itu membahayakan posisi ekonomi mereka,” kata Yanuar.
Membangun kelas menengah yang berkualitas adalah tantangan pemerintah saat ini, bukan sekadar membanggakan angka-angka kualitatif.
(Sumber: Kompas , 14 Januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar