Jumat, 25 Maret 2011

Bencana Menguatkan Rakyat Jepang

Oleh: Ahmad Arif dan Dahono Fitrianto

Tokyo, Kompas - Di tengah krisis ganda akibat gempa dan tsunami, disusul ancaman radiasi karena kerusakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi, rakyat Jepang memperlihatkan jati diri sebagai bangsa berkarakter kuat. Korban bencana yang berkesusahan tetap saling berbagi, berdisiplin tinggi, dan saling menguatkan.Kekuatan karakter bangsa Jepang itu tergambar jelas dari sikap pengungsi di kota-kota terdampak gempa, seperti Kesennuma, Prefektur Miyagi. Nyaris separuh kota hancur dan banyak warga menjadi korban. Infrastruktur kota juga lumpuh dengan padamnya aliran listrik dan air.
Setiap hari warga mengantre untuk mendapat bahan bakar dan makanan. Korban selamat dan tinggal di pengungsian juga hidup dalam kondisi yang berat, terutama di tengah suhu dingin tanpa pemanas ruangan.
Namun, suasana tetap tertib. Tidak ada kerusuhan karena saling serobot. Meskipun antrean bisa mencapai 5 kilometer dan butuh waktu berjam-jam, warga tetap sabar dan disiplin.
Banyak warga negara Indonesia menjadi saksi kuatnya karakter masyarakat Jepang. ”Kami berlima diselamatkan orang Jepang, yang mengangkut kami dengan mobilnya. Jika tidak diangkut mobil itu, kami mungkin sudah mati,” kata Muhammad Irham, pelaut Indonesia yang bekerja di kapal Jepang.
Elrifin (23), pelaut asal Sulawesi Tengah yang sempat terbawa gelombang, juga diselamatkan orang Jepang. ”Setelah keluar dari air, saya berjalan tanpa sepatu di tengah salju. Sudah hampir tidak kuat. Untung ada sepasang kakek-nenek yang membantu saya,” katanya.
Ia diberi sepatu dan baju hangat. ”Saya dirangkul, diusapi seperti anak sendiri. Mereka juga membakar moci untuk saya,” ujar Elrifin.
Tak hanya daerah di utara, Tokyo juga terkena dampak tak langsung. Krisis energi berimbas pada pengurangan operasional kereta hingga 50 persen. Pemadaman listrik bergilir terjadi hingga enam jam setiap hari. Pasokan air bersih juga terbatas. Namun, tak ada kerusuhan yang terjadi. Warga dengan sukarela mengurangi pemakaian listrik sebagai sikap peduli krisis energi.
Terlihat normal
Di permukaan, kehidupan di luar kawasan bencana memang terlihat normal. Di televisi, tak ada tayangan bencana disertai lagu balada dan publikasi nomor rekening sumbangan.
Namun, bukan berarti rakyat Jepang tak membantu saudara-saudara mereka yang dirundung kemalangan. Keiji Suzuki (18), siswa SMA di Nagasaki, bersama kawan-kawannya menggelar aksi pengumpulan dana di pusat kota Nagasaki, Rabu lalu.
Hanya dalam dua jam mereka mengumpulkan tak kurang dari 2 juta yen (sekitar Rp 217 juta). ”Uang itu kami transfer ke Palang Merah Jepang,” kata Suzuki.
Di Tokyo, sekelompok mahasiswa dan alumni Fakultas Desain Sistem Tokyo Metropolitan University (TMU) secara spontan membuat peta tiga dimensi kawasan bencana di alamat http://shinsai.mapping.jp.
Peta berbasis Google Earth ditambahi informasi jalur jalan yang masih bisa dilalui, radius kawasan bahaya di PLTN Fukushima, dan toko atau supermarket yang masih buka.
Dua rekan mereka di Keiko University juga segera membuat situs http://prayforjapan.jp, yang menjadi pusat informasi warga Jepang tentang perkembangan terkini situasi di lokasi bencana.
Mahasiswa dari universitas lain menyusun laman berisi informasi peta lokasi pemadaman bergilir di sembilan prefektur di Jepang, yang bisa diakses di http://teiden.sou-sou.net.
”Tidak hanya mahasiswa. Saya pikir semua orang dengan latar belakang berbeda-beda ingin berbuat sesuatu,” kata Tomoyuki Torisu, alumnus TMU.
Secara keseluruhan, warga Jepang juga yakin mereka bisa bangkit kembali. ”Kami pasti bisa mengatasi situasi ini. Kita harus semangat!” kata Mikasa Masahiro, pengungsi di Kesennuma.
Ikatan sosial
Yamamoto Nobuto, profesor di Departemen Politik Keio University, Tokyo, mengatakan, kekuatan masyarakat Jepang untuk bangkit berakar dari rasa memiliki komunitas. Rasa memiliki ini tampak saat terjadi bencana.
”Jika komunitas berada dalam bahaya, artinya seluruh anggota dalam bahaya. Karena itu, mereka ingin memastikan komunitasnya aman. Komunitas menjadi basis sosial dari kehidupan mereka, terutama di desa-desa yang terkena bencana,” kata Nobuto.
Anggota komunitas saling berbagi. ”Contohnya adalah upaya hemat energi yang dilakukan warga. Ketika pemerintah mengumumkan defisit listrik, warga di daerah Kanto, yang tidak terdampak langsung, secara sukarela mengurangi konsumsi listrik mereka,” ungkapnya.
Nobuto menambahkan, sikap rakyat Jepang ini dibentuk dari proses pendidikan. ”Ini bukan agama atau kebudayaan. Ini pendidikan, yang disiapkan sejak Restorasi Meiji,” ujarnya.
Menurut Nobuto, Restorasi Meiji menciptakan mayarakat Jepang yang tidak mengenal pembedaan kelas sosial. ”Orang pikir semua orang sama. Kalau susah, semua susah. Tidak ada pembedaan kelas. Walaupun ada yang punya uang dan tidak, semuanya merasa sebagai kelas menengah. Dan, kalau bencana terjadi, mereka pikir semua orang sama,” paparnya.
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, pakar penginderaan jarak jauh di Chiba University, Jepang, mengatakan, sikap orang Jepang ini dilatarbelakangi kondisi alam Jepang yang penuh tantangan, labil secara geologi, dan miskin sumber daya alam.
Dengan kondisi seperti itu, rakyat Jepang memiliki karakter selalu ”khawatir”. ”Tetapi, mereka ambil sisi positifnya, menjadi sumber ide untuk mengatasi kondisi itu. Misalnya, membuat rancangan bangunan tahan gempa atau sistem prediksi gempa,” tutur Josaphat, yang sejak 1990 bermukim di Jepang.
Alhasil, orang Jepang selalu berpikir dan menciptakan hal baru untuk mengantisipasi bencana dan mengatasi tantangan itu bersama-sama. ”Rasa kebersamaan inilah yang menjadi kunci kebesaran bangsa ini,” katanya.
Orang Jepang selalu merasa dirinya sebagai bagian dari kelompok atau komunitas yang lebih besar. Dengan demikian, apa pun yang mereka lakukan ditujukan untuk memberikan manfaat bagi komunitas itu.
(Sumber: Kompas, 21 Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar