Jumat, 25 Maret 2011

Menanti Kelas Menengah yang Berkualitas

KOMPAS.com - Pertambahan jumlah penduduk yang tergolong kelas menengah di Indonesia dianggap sebagian kalangan belum bermutu. Partisipasi kelas ini dalam pembangunan tidak saja diharapkan melalui kegiatan konsumsi yang menggerakkan perekonomian. Akan tetapi, lebih jauh dari itu juga diharapkan berperan sebagai agen perubahan.
Sulit memang menemukan definisi yang mampu secara tuntas menggambarkan kelas menengah. Pun, tak ada standar yang bisa diklaim sebagai batasan yang tepat untuk golongan menengah.
Sejarah di Eropa memperlihatkan, kelas menengah merujuk pada lapisan antara kaum bangsawan dan kaum petani. Peneliti dari bidang yang berbeda mendefinisikan dengan cara lain, yaitu berdasarkan pendidikan dan pekerjaan. Dalam ekonomi, biasanya para ahli menggunakan pola pendapatan atau pola pengeluaran sebagai acuan.
Pendekatan yang populer digunakan adalah penghampiran absolut, khususnya dengan batasan pengeluaran per orang sebesar 2-20 dollar AS setiap hari. Laporan yang menggunakan acuan ini, seperti yang dipublikasikan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB), menunjukkan adanya peningkatan distribusi populasi kelompok menengah di negeri ini dari sekitar 25 persen pada tahun 1999 menjadi 43 persen atau sejumlah 93,3 juta jiwa pada tahun 2009.
Informasi dari Bank Dunia yang menganut batasan yang sama juga menunjukkan kenaikan signifikan golongan menengah Indonesia. Pada 2003, kelompok ini berjumlah 81 juta jiwa. Dengan adanya tujuh juta penduduk yang setiap tahunnya ”naik kelas” dari golongan miskin, lapisan tengah Indonesia menggelembung menjadi 131 juta pada 2010.
Catatan dari Badan Pusat Statistik pun menunjukkan kenaikan jumlah lapisan antara ini seiring dengan penyusutan jumlah penduduk miskin sejak 1999. Pada 2010, tercatat hanya ada 13,33 persen penduduk miskin atau setara 31,02 juta jiwa. Bandingkan dengan kondisi 1999 dengan angka kemiskinan yang mencapai 23,4 persen atau sama dengan 47,9 juta jiwa.
Sayangnya, sampai saat ini kelas menengah di Asia, termasuk Indonesia, belum punya ”gigi”. Laporan ADB dan Bank Dunia menunjukkan sekitar 70 persen warga lapisan sela di negeri ini atau 69 juta jiwa (2009) rawan jatuh kembali ke perangkap kemiskinan. Hanya sebagian kecil yang hidup di atas tingkat subsisten dan mampu menabung.
Jika kelas menengah berkualitas, ia tidak hanya memiliki posisi kuat secara ekonomi. Anggota kelas ini nantinya harus mampu mendorong terciptanya inovasi, produk murah, bahkan membuka lapangan kerja.
Selain itu, kekritisan anggota kelas ini akan melahirkan suara vokal yang menginginkan pelayanan publik yang lebih baik dan efisien. Pemikiran-pemikiran yang tajam juga akan menjadikan kelompok tengah sebagai sumber pemimpin dan aktivis yang bergerak untuk menciptakan pemerintahan dengan akuntabilitas tinggi. (RATNA SRI WIDYASTUTI/Litbang Kompas)
(Sumber: Kompas, 21 Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar